home

Tuesday, December 13, 2011

Kisah Kursi dan SofaPDFCetakE-mail
Kamis, 27 Oktober 2011 09:13
IMG_135_-_CopySaya ingin berbagi cerita ringan mengenai pengalaman saya saat menghadiri sebuah dialog dengan anak-anak sekolah. Siang itu saya diundang menjadi pembicara dalam sebuah acara pendidikan. Saat hendak naik panggung, saya berhenti begitu melihat kursi. Kursi atau tepatnya alas duduk yg disediakan berbentuk sofa yang empuk dan nyaman. Saya menolak. Saya mau duduk jika sofa itu diganti kursi biasa.

Saya minta kursi sekolah saja yang lebih keras dengan sandaran yang tegak. Rasanya lebih nyaman. Mungkin Anda bertanya, "Apanya yang nyaman?" Panitia pun kebingungan mencari kursi yang sesuai permintaan saya. Mereka tidak menduga saya keberatan duduk di sofa. Akhirnya permintaan saya terkabul. Sebuah kursi biasa yang terbuat dari besi lipat dinaikkan ke panggung mengantikan sofa empuk tersebut. Kursi satu ini lebih ringan dan sandarannya rata sehingga punggung saya tidak sakit dan tulang belakang saya tidak membungkuk.

Saya ingin ajarkan bagaimana prinsip fungsionalitas yang mendorong produktivitas itu lebih penting daripada kenyamanan yang memanjakan. Saya pilih kursi yang keras juga untuk menyampaikan pesan bahwa para pemuda bangsa harus mau bersakit-sakit dahulu pada awalnya. Saya katakan sebagai pemuda, Anda semua jika mau sukses harus hindari sofa empuk karena bagi saya sofa itu lambang kemewahan.

Saat Anda masih muda sudah suka duduk-duduk di sofa, akan dengan mudah terlena, segan beranjak, atau malah tertidur pulas. Bagi saya, sofa ialah kemewahan yang bisa sekali2 dinikmati tapi tidak bisa membuat kita menjadi pribadi entrepreneur yang tegak dan tangguh.

No comments:

Post a Comment