home

Thursday, February 16, 2012

Yang Muda yang Bertani

HANYA 5% petani berdaya secara ekonomi, memiliki akses terhadap informasi dan pasar, serta menguasai teknik produksi modern. Data Badan Pusat Statistik yang melakukan survei jumlah petani setiap 10 tahun menunjukkan pada 1992 terdapat 17 juta kepala keluarga (KK), kemudian bertambah menjadi 22 juta KK pada 2002.

"Pasti di survei berikutnya terus berlipat. Sayangnya, yang 80% itu SD ke bawah, hanya 20% yang di atas SD, dan hanya 5% dari 20% itu yang bisa kita sebut berdaya," ujar Winarno Tohir, Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) yang juga petani padi dan mangga itu.

Kabar baiknya, lanjut Winarno, akses informasi dan bangkitnya semangat berwirausaha membuat jumlah petani baru terus bertumbuh. Sebagian dari mereka tak berlatar belakang keluarga petani dan memilih bertani karena alasan ekonomis maupun gaya hidup. Generasi baru sektor pertanian ini memiliki rentang usia belasan hingga 40-an tahun.

"Tapi ingat, ini masih parsial. Walaupun gerakan petani modern ini sudah mulai intens, petani guram sih biasanya ingin anaknya jadi pegawai biar tidak nelangsa seperti orangtuanya," kata Winarno.

Walaupun begitu, Ade Dwi Adedi, 48, yang kini membina 200 petani melon di Cilegon, Banten, mengaku sebagian juniornya berorangtua petani. Sebelum kembali ke kebun, para petani binaannya berprofesi sebagai pengojek bahkan penganggur.

"Tapi kisah para petani binaan saya di kebun berbeda dengan orangtua mereka. Dengan lahan sewa seluas 3.000-5.000 m2 mereka bisa meraup pendapatan bersih Rp24 juta per dua bulan. Namun, karena karakter tanaman kita high risk high return, risikonya juga lumayan. Nah, dengan berkumpul, risiko itu bisa diminimalkan," kata Ade.(Zat/M-1) Kompas.com

Growth Mindset - Jawapos 13 Februari 2012
Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di FEUI. Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40 anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda (21,5 tahun).

Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan almarhum Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI  yang ditugaskan melakukan wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan  data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.

“Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 pada saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas objektif dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai orang ini tidak cerdas.  Tetapi karena  kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun seseorang.  Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK?

Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya merupakan langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impak: apa yang bisa Anda diberikan atau dilahirkan.  Maka kepada mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impak jauh lebih penting.  Celakanya universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.


Kualitas Intake

Jadi, di akhir pekan kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki anak-anak yang cerdas, namun di lain pihak saya gelisah kalau mereka yang ber IPK tinggi itu produk settingan tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah.

Karakter orang-orang dengan settingan tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi akademik di masa lalu bisa menjadi pemicunya.

Padahal kita semua butuh orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini : Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak berarti apa-apa, bila tidak cerdas. Tetapi studi yang dilakukan Dweck memberi jawaban yang melengkapi : pintar yang kita butuhkan adalah bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di setting untuk tumbuh (growth mindset).

Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.

Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak terlalu mengandalkan test-test tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademik masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang memiliki hasil tes yang tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang disetting tetap.

Tetapi apalah artinya semua itu kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai pendidik merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekedar mendapat ijazah. Jadi, ke 40 anak-anak muda yang lulus cum laude itu tentu masih ingat, bahwa musuh besar mereka adalah kebanggan yang berlebihan terhadap prestasi yang telah dicapai kemarin.

Kedepan, Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri.
Untuk melahirkan manusia-manusia unggul diperlukan kualitas intake yang baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh.  Maka proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah dan di akhir.  Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernafas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa hal ini bisa diatasi dengan settingan pikiran yang tepat.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
BJB - Sindo 16 Februari 2012
Tiga tokoh perubahan pekan lalu bertemu di pendopo kami di Rumah Perubahan. Ketiganya adalah CEO yang sama-sama dipercaya publik berhasil membawa perubahan. Yang pertama,CEO yang kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Kedua CEO Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dan yang ketiga pemimpin baru Bank BJB Bien Subiantoro. Bien Subiantoro, mantan Direksi Bank BNI yang kini memimpin BJB, membawa sekitar 100 orang staf dan jajaran pemimpin Bank BJB untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang dia pimpin.

Mereka belajar dari para tokoh perubahan bagaimana menghadapi perubahan. Menurut Macquarie Equities Research pada laporan yang diterbitkan 2 Februari 2012, Bank BJB pantas mendapat perhatian. Bank ini,menurut Macquarie, telah memasuki tahapan baru:starting new chapter.

Bank Nasional

Seperti kebanyakan bank milik pemerintah daerah lain, Bank BJB juga mengalami pergulatan internal yang hebat. Namun beruntung BJB berhasil keluar dari dilema-dilema kedaerahan dalam sebuah pertarungan yang panjang. Terkurung dalam niche-nya yang sempit,bank-bank daerah seperti tak punya pilihan. Pemiliknya tak hanya gubernur, melainkan juga para bupati.

Selama bertahun-tahun bank daerah telah menikmati pasar yang captive, yaitu pemerintahan- pemerintahan daerah. Bank daerah adalah ibarat kasir bagi pemerintah provinsi dan kotamadya/kabupaten. Pegawai-pegawai pemda otomatis menerima gaji dan sekaligus menjadi nasabah bank daerah di wilayahnya. Bank Indonesia menginginkan bank-bank daerah menjadi local champion di wilayahnya masing-masing. Namun, sejalan dengan waktu, danadana milik pemerintah daerah ternyata juga diminati bankbank nasional dan bank-bank asing.

Nasabahnya juga demikian, menjadi sasaran empuk bank-bank swasta dan bank-bank nasional. Di lainpihakiklimdemokrasi dan pasar bebas telah membuat bank-bank daerah kesulitan mempertahankan teritorinya. Ada banyak kasus yang menunjukkan para bupati dan wali kotatidak100% setiapadabank miliknya. Bila Pak Wali Kota atau Pak Bupati tersinggung, kas daerah bisa dipindahkan seketika ke bank lain.

Namun bila masalah-masalah seperti itu tak ada, bank daerah menjadi terlalu nyaman. Anda bisa bayangkan masih banyak bank daerah yang warna kedaerahannya sangat kental. Maaf, bukan kental corak budayanya, melainkan kepentingan orang per orangnya. Artinya, mereka enggan mematuhi perintah hierarki. Rotasi karyawan menjadi sangat sulit karena masingmasing mempunyai hubungan dengan penguasa setempat.

Bukan hal yang luar biasa bila CEO bank daerah ditelepon bupati hanya karena soal pindahmemindahkan karyawan. Inilah suasana yang saya sebut sebagai “budaya kucing” dalam buku Cracking Zone. Dana mudah pindah tangan, karyawan sulit ditangani, dan produknya tidak jelas. Mungkin di daerah Anda, manajemen bank-bank daerah tidak seekstrem itu.Tetapi secara umum demikianlah pergulatan sekitar 12 orang CEO bank daerah yang “diimpor” para gubernur dan bupati dari bank-bank nasional untuk memajukan bank-bank daerah.

Sudahbegitu,paraCEOpunmasih harus berhadapan dengan persoalan governance yang meletihkan. Jadimereformasibank-bank daerah, menjadikannya regional champion, apalagi menjadikannya national champion bukanlah persoalan sederhana. Ke atas mentok,ke kiri tembok, ke kanan kawat berduri.Namun bukan CEO namanya kalau mereka mendiamkannya.

Mungkin BJB dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik bagaimana bank asal daerah milik pemerintahan daerah berhasil keluar dari kusutnya semangat kedaerahan yang sempit,menjadi bank nasional yang kompetitif dan sehat. Bila pada akhir 2009 asetnya baru Rp32,41 triliun, kini sudah di atas Rp53 triliun.

Good Governance

Tentu saja semua kemajuan berasal dari adanya good governance.Menjadi kas daerah bukan berarti penguasa-penguasa daerah bebas memasukkan tangannya kepada operasional perbankan. Demikian pula bukan berarti eksekutif bebas semaunya memimpin. Namanya bank, tentu saja harus ditangani secara prudent. Maka sudah pasti bank daerah perlu bekerja keras mendapatkan CEO—dan tentu saja jajaran direksi yang solid dan bersih.

Dulu pemimpin-pemimpin daerah bebas memilih orang, sekarang pemerintah daerah “beruntung” karena mereka harus mendapat persetujuan bank sentral untuk mengangkat direksi. Direksi yang sudah diputuskan RUPS bisa saja tidak jadi terus bila Bank Indonesia menemukan catatan-catatan khusus tentang kandidat tersebut. Setelah itu CEO harus berani memutuskan ke mana banknya diarahkan.

Sudah pasti ia hanya punya dua pilihan: Mendiamkan hidup di masa lalu yang nyaman dengan “budaya kucing” atau keluar dari belenggu masa lalu dan menjadi “cheetah”yang siap berlaga di medan tempur. Yang pertama berarti tidak memerlukan perubahan. Strateginya cukup survival. Untuk yang kedua Anda butuh seorang cracker yang tidak mendiamkannya.

Strateginya: menjadi champion,pemenang! KalauAnda menjadi cracker sudah pasti akan berhadapan dengan dua atau tiga pihak. Pertama Anda akan berhadapan dengan para “kucing” yang ingin mempertahankan comfort zone.Kedua,Anda akan berhadapan dengan dewan komisaris yang juga ingin mempertahankan ketenangan. Ketiga, Anda akan dikutuk pemain- pemain nasional yang siap menerkam pasar Anda.

Nah,bagaimana BJB keluar dari belenggu-belenggu itu? Ceritanya begitu panjang. Dimulai dari CEO terdahulu, Agus Ruswendi,yang meletakkan dasar-dasar agar BJB beralih menjadi bank nasional yang mandiri. Melalui pergulatan yang panjang ia berhasil menjadikan BJB perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu perubahan terus digulirkan. Change management office dibentuk untuk mempercepat transformasi. Seluruh jajaran pemimpin dibekali teknik change management.

Di era Bien Subiantoro, gerak BJB menjadi lebih solid lagi. Ia memperbarui jaringan dan teknologi informasi bank ini, memperbaiki business process, dan pelayanan.Seperti pada beberapa perusahaan lain yang saya ikuti, BJB memulainya dari “people”. Kompetensi budaya kerja diperbarui. Kemarin saya mengatakan pada para pemimpin BJB bahwa kini suasana baru telah terbentuk.

Bila dua tahun lalu “loading”orang-orangnya agak lambat, kini jauh lebih cepat. Mereka pun tengah terlibat dalam breakthrough project yang strategis. Kita dapat menyaksikan sebuah babak baru telah hadir dari Bandung. Kini BJB telah menjadi aset nasional yang penting dan bank-bank daerah bisa belajar bagaimana transformasi dapat dijalankan dengan penuh semangat. Kalau BJB bisa,apa iya yang lain tidak bisa? ●

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia