home

Saturday, December 24, 2011

Mitos Tentang Krisis - Sindo 22 Desember 2011



Beberapa tahun yang lalu, saat krisis moneter tengah melanda Indonesia, Carol Dweck mengumpulkan sekitar 400 orang remaja dan memberi mereka puzzle sederhana. Mereka diberikan dua kalimat yang masing-masing terdiri dari enam kata.

Yang satu bunyinya begini: “you must be smart at this.” (“Kalian harus cerdas pada soal ini”) dan satunya lagi: “you must have have worked really hard.” (“Kalian harus bekerja sangat keras”). Kalimat-kalimat itu diberikan untuk mengetahui perbedaan sikap dari apa yang masing-masing orang percayai atau miliki.

Setelah diberikan dua jenis puzzle tadi, diketahui bagian terbesar remaja memilih kalimat yang pertama. Anak-anak kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat mengedepankan pentingnya intelligence (kecerdasan) sehingga kata “smart” sangat penting bagi mereka. Sedangkan yang kedua terdiri dari anak-anak yang percaya pada kata “hard work”. Mereka ini umumnya melakukan sesuatu bukan untuk sukses, kata Dweck. Melainkan karena ingin mengeksplorasi tantangan-tantangan yang menarik.  Sukses adalah soal belakangan, bukan menjadi permulaan.

Kepada mereka semua diberikan tawaran untuk memilih satu jenis soal dari dua pilihan. Pilihan pertama adalah soal-soal yang mudah, dan yang kedua adalah soal-soal yang sulit. Anda tahu apa yang terjadi?

Menyadari Krisis: Tidur!
Anak-anak yang mengklaim dirinya “smart” dan senang menyebut dirinya “smart worker” atau mengedepankan intelligence ternyata tidak mau mengambil soal-soal yang sulit. Mereka ingin sukses, dan bagi mereka orang smart harus lulus, dan memilih yang mudah. Dua pertiga responden smart tersebut dicatat psikolog Dweck memilih soal yang mudah.

Kata Dweck, “mereka takut kehilangan label smart yang melekat pada diri mereka dengan menghindari tantangan. Rupanya mendapat label smart dan hebat mengundang beban psikologis yang berat, dan ini bisa membuat manusia menghindar dari tantangan-tantangan alam yang sulit.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak terbebani oleh label “smart” berjalan lebih ringan. 90% diantara mereka justru memilih soal yang sulit. Bodohkah mereka? “Bukan!”, kata Dweck. Melainkan mereka tidak tertarik untuk dianggap sukses atau ingin cepat-cepat menunjukkan hasil, apa lagi dinilai “kaya”. Kata sukses, kaya, dan smart, kalah enak. Tidak elok bila dibandingkan dengan kata “upaya”, “kerja keras”, dan “tantangan”.

Mereka yang merasa cerdas umumnya takut gagal, takut mencoba sesuatu yang baru, dan mudah cemas begitu keadaan berubah atau terancam oleh kata “krisis”. Sebaliknya, mereka yang tak merasa cerdas dan selalu berorientasi pada kerja keras justru menikmati suasana krisis dan tidak kehilangan kepercayaan diri.

Pembaca yang baik, hari-hari ini kata-kata krisis kembali berbunyi keras di antara para pelaku usaha dan CEO menyusul merambahnya krisis keuangan ke beberapa negara Eropa. Dari studi Dweck tadi jelaslah kita selalu akan menemukan 2 jenis CEO. Yang satu takut dan mudah kehilangan percaya diri, sedang yang satu lagi EGP (“Emangnya Gue Pikirin”) dan cenderung kata orang Jawa Timur sebagai “Agak Bonek”.

    Anda mau tahu hasil studi lanjutan yang dilakukan oleh Dweck?
    Kepada kedua kelompok respondennya itu Dweck lalu memberi soal yang sama dengan yang dikerjakan kelompok pertama tadi, yaitu soal yang mudah. Kelompok yang merasa cerdas tadi ternyata mendapatkan skor 20% lebih rendah dari pekerjaannya semula. Dalam bahasa manajemen, saya menyimpulkan, produktivitas mereka justru merosot setelah badai berlalu, sekalipun soalnya tidak lebih sulit. Di sisi lain, kaum pekerja keras, justru mengalami kenaikan kinerja sebesar 30%. Kesulitan dan kegagalan telah membuat mata mereka terbuka dan hormon mereka penuh.

Anak-anak yang mendewa-dewakan kecerdasan dan merasa pintar menghambat motivasi mereka untuk maju dan meracuni kinarja di masa depan.”

Itulah sebabnya di masa-masa seperti ini para CEO perlu bertransformasi diri dari merasa cerdas menjadi bekerja keras. Attitude is everything. Krisis itu bukanlah yang terjadi secara merata, susah tidak akan dialami sama oleh setiap orang.  Sama halnya dengan kebalikannya saat anda membaca berita-berita bagus seperti kenaikan rating invesment grade Indonesia. Mereka yang beruntung bukanlah mereka yang merasa smart, melainkan mereka yang mau mengeksplorasi berbag`i kesempatan baru di masa depan.

Jadi saya sependapat dengan almarhum Peter Drucker yang mengatakan cara terbaik mengetahui tentang keadaan masa depan adalah dengan menjelejahi masa depan itu sendiri dengan penuh kesungguhan.  Bukankah soal hasil sudah ada yang menentukan?  Tetapi apa dan bagaimana anda mengerjakannya membuat hasil itu jadi berbeda.

Wednesday, December 21, 2011

Kisah Bijak dari Tiongkok - 6 Pertanyaan

Suatu hari, seorang Guru Zen berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu, beliau mengajukan enam pertanyaan.

Pertama: "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: orang tua, guru, teman, dan kerabat. Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi sebenarnya yang paling dekat dengan kita adalah "napas". Maka, sadari bahwa hidup itu penuh berkah. Jangan sia-siakan napas Anda untuk hidup sekarang juga dengan bersyukur.
Lalu ia meneruskan pertanyaan kedua: "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: negara di seberang lautan, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Katanya, semua jawaban yang diberikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu." Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu. Maka, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang. Jadikan kenangan dan pelajaran baik untuk menjalani hidup saat ini.
Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga: "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: gunung, bumi, dan matahari. "Semua jawaban itu benar," kata Sang Guru. "Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah mimpi." Mimpi adalah awal dari kenyataan yang akan datang. Dengan mimpi, manusia akan bisa berkembang lebih beradab dan bijaksana.
Pertanyaan keempat adalah: "Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab: baja, besi, dan gajah. "Semua jawaban hampir benar", kata Sang Guru, "tapi yang paling berat adalah tidak berkarya dan tidak memegang amanah."
Pertanyaan yang kelima adalah: "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab: kapas, angin, debu, dan daun-daunan. "Semua itu benar", kata Sang Guru, "tapi yang paling ringan di dunia ini adalah tersenyum". Dengan senyuman saja, hidup Anda akan penuh berkah :)
Lalu pertanyaan keenam (terakhir) adalah: "Apakah yang paling tajam di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak: PEDANG!! "(Hampir) benar", kata Sang Guru, "tetapi yang paling tajam adalah tekad." Dengan TEKAD, Anda telah memenangkan 50% keberhasilan / kesuksesan!
Salam sukses, luar biasa!!
andriewongso.com
Jabatan Untuk Mengimpresi (Atau Untuk Menggerakkan?) - Jawapos 19 Desember 2011
“Anda harus memilih: Nothing to loose atau cinta jabatan.” Kalimat itu mengalir dari mulut mantan CEO  PT. Pertamina yang all out melakukan pembaruan di eranya. Karena prinsip nothing to loose itulah ia menggunakan jabatannya untuk menggerakkan perubahan.

Saya kira yang dilakukan Ari Sumarno, secara kreatif juga tengah dijalankan oleh Menteri Dahlan Iskan. Kedua CEO ini sama-sama tidak berpikir jabatan untuk mengimpresi. Mereka sama-sama melihat jabatan hanyalah titipan untuk menggerakkan orang. Begitu berani mereka bergerak, memperbaiki yang rusak, membongkar proses dan mencari kebenaran. Dan kalau ada orang lain yang mencongkel jabatan mereka, dengan senang hati dan  tulus mereka rela dan mudah memberikannya.

Dalam pekerjaan “memperbaiki yang rusak” itu, mereka akan berhadapan dengan sejuta kejanggalan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun oleh bawahan-bawahan mereka. Mengapa hal itu dibiarkan? Jawabnya adalah conflict of interest dan takut menghadapi risiko. Yang pertama membuat mereka risih karena diberi kenikmatan oleh pihak lain (publik menyebut mereka telah “dipelihara” orang kuat). Yang kedua membuat masalah dibiarkan berlarut-larut.

Namun keduanya sama-sama dipelihara oleh mereka yang cinta jabatan. Mereka hanya memakai jabatan untuk mengimpresi. Mereka membiarkan perusahaan atau lembaga yang dipimpinnya menjadi bank masalah.

Dua Tahun Yang Impresif

Pemimpin perubahan gerakannya segera tampak sejak hari pertama. Karena menguasai masalah dan masuknya sudah di tengah jalan, mereka langsung bertindak. See and Action! Berbeda dengan buku teks yang mengarahkan Anda memulainya dari selembar kertas dengan membuat rencana, mereka memulainya dari tindakan.

Karena itulah perbaikan yang mereka lakukan lebih menekankan pada aspek operasional. Dalam bahasa strategi inilah yang disebut sebagai Operational Excellence. Namun bagi Prof. Michael Porter, Operrational Excellence bukanlah strategi. Ia tak akan bermuara kemana-mana. Itulah sebabnya para doer dan change maker segera merumuskan strategi jangka panjangnya. Kalau ini sudah terbentuk, setahun-dua tahun kemudian mau-tidak mau perubahan akan menembus ke atas, ke arah orang-orang besar, yang terkait dengan kekuasaan dan hutang-budi kepentingan.

Itulah sebabnya, banyak change maker hanya mampu optimal melakukan perubahan selama dua tahun pertama. Memasuki tahun ke tiga mereka mulai tidak diajak bicara oleh layer-layer di level atas, dilarang bertemu dengan “pemimpin besar” yang dijaga para mafioso. Fadel Mohammad, Ari Sumarno, Antasari Azhar, Alm. Cacuk Sudariyanto (Telkom), dan banyak lagi tokoh perubahan mengalami hal serupa. Setelah itu bisa diduga mereka dicopot dan dari jabatannya. Padahal dulu “pemimpin besar“ memuja mereka, bahkan pemimpin besar yang merestui langkah-langkahnya, menstimulasi agar bekerja keras dan memberi hasil. Akhirnya pemimpin-pemimpin besar yang bodoh hanya memelihara mereka yang memakai jabatan untuk mengimpresi.

Apa sih ciri-ciri impression man atau impression woman seperti itu? Beginilah ciri-cirinya: Mereka berbicara penuh pesona, pekerjaannya hanya diarahkan untuk menyenangkan atasannya dan gemar beriklan, management one-level up (satu tingkat ke atas), Output riil-nya tidak ada, tidak berorientasi pada impact, mengutamakan atasan lebih dari segala-galanya, leadershipnya tidak 360 drajat, sangat menguasai jabatan dan bila melakukan kesalahan selalu ditutup dengan kesalahan-kesalahan lain atau menggunakan kekuatan Public Relations. Kalau belangnya ketahuan, mereka akan mengawal jabatannya begitu  keukeh dengan memakai puluhan lawyer dan jago-jago Public Relations.
Sebagian orang sangat mungkin terkecoh. Kami di Universitas Indonesia dan banyak Wartwan saja bisa terkecoh oleh prestasi pemimpin tertinggi kami di universitas yang seakan-akan luar biasa. Tetapi waktu akan menemukan kebenaran, karena mereka yang cinta jabatan hanya memoles prestasinya dengan kebohongan-kebohongan yang lambat laun sulit ditutupi. Sebaliknya, pemimpin sejati adalah mereka yang nothing to loose dan fokus pada penyelesaian masalah, bukan mempertahankan kekuasaan.

PDCA
Akhirnya saya tutup tulisan ini dengan rumus kemajuan yang sangat dikenal di kalangan insan PT. Astra International. Rumus ini selalu diingat para lulusan Astra, yaitu Plan-Do-Check-Action cycle. Tetapi dari ke empat elemen itu selalu terdapat perbedaan penerapan.
Mereka berkarakter thinker akan menghabiskan waktu pada aspek planning. Sedangkan para doer akan fokus pada action. Namun perlu saya tegaskan, keempat elemen itu harus dijalankan bersamaan. Anda kerjakan, Anda cek hasilnya, masukkan ke dalam rencana, koreksi, lalu tindak lanjuti.
Kalau ini Anda lakukan dengan tulus, Anda tidak perlu melakukan perubahan. Perusahaan otomatis akan tumbuh menjadi besar, adaptif dan sehat. Kalau tidak ada ketulusan, Anda akan terlibat dalam kesulitan yang Anda buat sendiri. Anda akan terperangkap dalam “cinta jabatan” dan “takut kehilangan”. Orang-orang yang tulus akan berani berbuat, berani berkorban, tidak memerlukan dukun sakti atau “petugas pemadam kebakaran” karena Anda tak takut kehilangan. Jabatan boleh hilang, tetapi kehormatan akan menentukan apakah Anda bisa kembali lagi, bounce, atau pecah.

Happy holiday, selamat merayakan Natal bagi umat Nasrani. Selamat Tahun Baru bagi kita semua. Tetaplah tulus dan berani dalam menjalankan amanah.

Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas Indonesia