home

Saturday, December 31, 2011

BRI, Dari Desa ke Kota

KOMPAS.com — Perubahan sudah banyak terjadi di BRI. Bank yang satu ini tak lagi dikenal hanya beroperasi di desa. Kini, warga tak jauh dari rumah ataupun pusat bisnis di kota mudah menemukan BRI. Semua ini dilakukan tanpa melupakan bisnis asalnya, yaitu kredit mikro dan desa. Untuk memahami perubahan yang dilakukan BRI selama ini, ”Kompas” mewawancarai Direktur Utama BRI Sofyan Basir di kantor di BRI Tower I, Jakarta.

Jika mendatangi kantor BRI sekarang, Anda akan menemukan pelayanan yang jauh berbeda. Semuanya karena transformasi yang terjadi di BRI.

BRI telah berubah jauh. Apa yang dilakukan selama ini?


Kami menyadari lambat laun produk-produk bank-bank sama, fiturnya juga sudah hampir sama. Untuk itu, pada awal kami dipercaya memimpin BRI pada 2005, kami melihat bagaimana mencoba memanfaatkan dan mengelola BRI yang memiliki 4.200 kantor. Bagaimana kami bisa memanfaatkan kantor-kantor yang sudah ada di daerah.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, ternyata ada bank-bank yang merambah ke bisnis kami, yaitu kredit mikro. Ada empat bank yang intensif masuk ke bisnis itu. Wah, kami yang sudah di desa ternyata masih dikejar-kejar juga oleh bank-bank lain. Saat itu, jumlah karyawan sudah 40.000. Ini merupakan potensi yang luar biasa.

Saya memulai dengan transformasi budaya. Saya menekankan kita ini bukan lembaga yang mengelola pegawai negeri sipil, tetapi bank. Kita berbicara industri. Oleh karena industri, kita punya target. Kita punya cita-cita besar ke depan. Angka-angkanya harus jelas. Kalau kita berbicara industri, maka kita imbangi tuntutan industri.

Bisa dijelaskan lebih lanjut soal transformasi itu?

Transformasi budaya kerja diikuti dengan transformasi bisnis. Hal itu mulai dari sumber daya manusia, teknologi informasi, sarana kerja, hingga produk-produk kami. Untuk itu, lalu disusun perencanaan yang matang, terinci, dan diikuti langkah strategis.

Tahun 2005-2006, transformasi itu dimulai. Bank adalah teknologi. Bicara bank, bicara teknologi karena nasabah butuh layanan yang prima. Layanan itu adalah kemudahan akses, kemudahan mendapat informasi, dan mendapat kenyamanan. Pertama, bagaimana meng-online-kan seluruh jaringan BRI dari Sabang sampai Merauke. Kami kemudian berpikir sumber dana kehidupan bank adalah dari pribadi-pribadi, maka sumber dananya yang utama itu ada di perkotaan.

Selama ini, BRI menguasai pedesaan. Kalau teknologi sudah dipenuhi, maka tidak salah kalau kami bisa masuk ke orang kota. Makanya, kami memperluas jangkauan dari desa sampai ke kota. Dulu di Jabodetabek hanya ada 60 kantor, sekarang telah menjadi 700 kantor. Bisa dibayangkan? Dulu di kawasan Rasuna Said, Jakarta, tak akan ketemu BRI, tetapi sekarang ada.

Awalnya kami menyerang 14 kota besar, kini kami menyerang 50 kota besar. Bersamaan dengan itu, kami imbangi dengan teknologi. Kami buka BRI di perkantoran, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lain. Kami bangun juga fitur-fitur yang sekarang telah mencapai 570 fitur produk. Kami imbangi dengan pertumbuhan sumber daya manusia untuk dukung kantor dan untuk dukung bisnis kredit mikro kami. Ada tambahan 45.000 orang dalam lima tahun. Sebagian untuk mendukung kredit usaha rakyat (KUR). KUR pada 2008 awal telah mencapai lima juta debitor KUR dengan kredit Rp 35 triliun atau Rp 7 juta per orang.

Kiat selanjutnya?


Transformasi dari sisi pemasaran. Saat itu kami mempunyai program BRI Untung Beliung yang banyak diributkan orang. Dari program ini, kami mendapat lima juta tambahan penabung. Kemudian lembaga bisnis dikembangkan melalui pembentukan dua direktorat baru, yaitu direktorat pelayanan dan jaringan serta direktorat hubungan lembaga dan BUMN. Sekarang kami komplet, mempunyai nasabah orang desa dan kota.

Perubahan kultur di BRI sangat menarik. Apa yang terjadi?

Kami selalu adakan pendekatan bahwa kami bukan pegawai negeri sipil. Bank lain beri pelayanan, kami didik terus karyawan juga untuk melayani. Kami adakan lomba pelayanan Service Quality Vaganza setiap tahun. Dari survei MRI secara umum, pelayanan kami naik peringkat dari ke-19 menjadi nomor 7. Untuk yang satu ini, kami disurvei segalanya, mulai dari toilet, pelayanan petugas satpam, sampai pelayanan parkir.

Untuk pelayanan ATM, kami naik dari nomor 6 menjadi nomor 2. Kehadiran karyawan baru menjadi agen perubahan kultur. Kami tanamkan sejak dini kepada karyawan baru, kita kerjakan pelayanan prima sampai ke staf. Ada tujuh pendidikan yang harus dijalani.

Dari transformasi itu, mana yang menjadi inti?

Sumber daya manusia dan teknologi informasi. Kami mendidik sumber daya manusia. Hari ini ada 4.200 peserta program pendidikan staf setiap hari untuk jadi bankir. Dari jumlah itu yang sudah jadi 3.200 orang. Kami juga mengirim 20 orang setahun untuk bersekolah di luar negeri. Kami mengunjungi daerah terpencil dan kami ingin tahu harapan mereka. Kami beri pelayanan, kami jadi pendengar yang baik. Kalau sudah saya dengarkan, mereka saya minta melayani nasabah. Saya menekankan perusahaan ini merupakan masa depan mereka dan keluarga mereka. Kalau bekerja dengan benar, maka lembaga ini akan benar.

Sekarang apa mimpi BRI ke depan?

Semua sudah di dalam jalur. Akan tetapi, kami akan menambah 14.000 ATM, 60.000 penangkap data elektronik (EDC), 8.000 kantor hingga akhir 2012. Ini kerja besar dengan angka-angka besar.

Mimpi menjadi semacam sekolah bagi bankir Indonesia?

Hal itu sudah terjadi sejak lama. Kami menyekolahkan karyawan menjadi bankir, tetapi diambil bank lain. Kami menyadari hal itu, mereka berpikiran mending membajak dari BRI dibanding mendidik bankir sendiri karena ongkosnya sangat mahal.

Pebisnis Perlu Nyali

Oleh Abun Sanda
Ada hal yang menarik disimak dari bisnis Trihatma Kusuma Haliman. Pemimpin Grup Agung Podomoro ini tidak sekadar bergerak agresif mendirikan mal, pusat perkantoran, sentra hunian apartemen dan perumahan, tetapi ada sesuatu yang khas dari langgam Trihatma dalam berbisnis. 
Kekhasan itu tidak sekadar ditunjukkan dengan produk yang bermutu dan selalu laris manis di pasaran, tetapi karena grup usaha ini memiliki hal tipikal yang membuatnya masyhur, yakni nyali, elan, dan moral.
Para penyuka mal tentu masih ingat bahwa pada era 1990-an sampai era 2000-an Plaza Senayan menjadi salah satu plaza atau mal terbaik di Indonesia. Di dekat Plaza Senayan, dalam hitungan ”sepelemparan batu”, tegak tiga pusat belanja yang bukan kelas ”kalengan”. Namun, Plaza Senayan sulit disaingi. Ia tetap berada di panggung elite Indonesia. Pengunjung rela antre berbelanja, makan, ngupi-ngupi, dan bahkan cukur rambut.
Dengan latar belakang seperti ini, mengapa Anda membangun Senayan City? Tidak takut tergulung?
Saya justru melihat peluang sangat terbuka di situ. Bayangkan, di Plaza Senayan, pengusaha yang hendak membuka gerai baru mesti antre panjang, entah kapan mendapat giliran masuk plaza tersebut. Sejumlah penghasil produk premium membuka gerai di plaza papan atas tidak sekadar karena ingin komoditasnya laku, tetapi juga untuk menunjukkan mereka berada di panggung prestisius.
Kami tidak giris dengan kondisi itu. Kami membangun Senayan City dan dibuka Juni 2006. Letaknya persis di seberang Plaza Senayan. Luas area malnya tidak tanggung-tanggung, 78.000 meter persegi (total area bangunan 238.000 meter persegi).
Banyak kalangan mempertanyakan ”hitungan bisnis” Anda. Magnet apa yang hendak digunakan untuk menarik pengunjung? Areal mal yang luas tidak mudah diisi para pebisnis.
(Tertawa). Saya selalu berpikir optimistis. Menurut survei sederhana yang dilakukan tim kami, ada fakta bahwa warga Jabodetabek dan warga Indonesia di provinsi lain yang datang ke Jakarta masih membutuhkan mal bermutu. Saya merasa terajak masuk ke panggung kompetisi bisnis mal. Saya percaya kepada rahmat Tuhan, pun percaya bahwa dengan strategi bisnis yang baik, langkas bekerja, kerja tim yang harmonis, keinginan meraih mal yang baik akan terwujud.
Ada yang Anda tekankan?
Saya menggarisbawahi aspek nyali. Bagi saya, konsep bisa bagus, tim bisa kuat, jaringan bisa luas, tetapi tanpa nyali, tanpa elan, semua aspek besar itu tidak akan berarti apa-apa.
Jangan pernah abaikan aspek nyali. Senayan City kini bersinar terang dan ramai. Antrean untuk membuka gerai usaha cukup panjang. Dalam pertemuan properti di Singapura dan Shanghai baru-baru ini, Senayan City menjadi salah satu mal yang ramai dipercakapkan karena dipandang memberi nuansa baru.
Senayan City menjadi tonggak baru bagi Agung Podomoro Group?
Bisa juga disebut begitu, sebab begitu Senayan City sukses, kami membangun Mall of Indonesia (MOI). Mal ini dibangun juga dengan nyali, sebab di sekitarnya terdapat setidaknya dua mal besar, yakni Mal Kelapa Gading dan Mal Artha Gading. Yang kemudian terjadi, MOI juga meraih pangsa besar dalam kancah mal di area regional. Dengan MOI, kami ingin membawa keriangan dalam mal. Kami pun seolah ingin memberi tahu publik bahwa di samping panggung belanja, makan, dan bisnis, ada sisi lain dari mal, yakni arena bermain untuk anak-anak, remaja, dan bahkan kalangan dewasa. Ajakan inilah yang membuat MOI ramai.
Setelah MOI?
Kami tidak bisa berhenti, tidak ingin momen emas itu lesap. Kami membangun mal baru, Central Park. Pembangunan mal ini menimbulkan tanda tanya sebab dibangun di antara dua mal yang ramai, yakni Mal Taman Anggrek dan Mal Ciputra.
Seperti dugaan kami, Central Park yang dibuka pada tanggal 9 bulan 9 tahun 2009 ini segera merebut hati publik Indonesia. Publik suka dengan mal yang tegak di areal seluas 125.000 meter persegi itu. Mereka merasa tersihir oleh area hijau seluas 1,5 hektar. Dan hal yang menggetarkan, Central Park menjadi primadona properti Asia dalam bersaing dengan mal-mal yang ada di belahan dunia lain, di Shanghai beberapa bulan lalu.
Saya tidak ngecap lho. Tetapi lihatlah sendiri, taman Central Park menggenggam pesona. Ratusan pohon elok hidup berdampingan dengan air mancur spektakuler. Adapun enam kolam ikan koi bagai telaga kecil yang siap menyedot keresahan manusia. Di beberapa titik, terdapat arena bermain yang menyenangkan. Ada pula belasan barisan tempat duduk panjang yang memungkinkan warga Jakarta belajar atau bekerja dengan laptop atau iPad-nya di situ. Kalau letih belajar, sesekali pandanglah pohon stopedia dan trembesi yang sungguh rindang. Damai terasa menyelusup ke pedalaman sukma.
Anda terkesan gencar membangun apartemen. Mengapa?
Benar. Kami sudah membangun 220 menara apartemen, 8 mal, 36 gedung perkantoran. Mimpi kami adalah membangun ”kota dalam kota” dalam skala besar. Maka kami membangun sejumlah superblok yang spektakuler. Superblok di Central Park misalnya, yang menggunakan nama Podomoro City. Di ”kota” dengan luas 9,7 hektar itu terdapat pusat bisnis menengah sampai raksasa. Ada mal, sentra perkantoran. apartemen. Ada pula sekolah, pusat olahraga, kesehatan, rehabilitasi medik, pusat belanja, sentra restoran, rumah makan sederhana, kantor-kantor pemerintah.
Dengan segenap fasilitas itu, kami ingin warga mengurangi jumlah bepergian, memotong perjalanan. Untuk merengkuh semua lokasi, cukup dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Formula ”kota dalam kota” saya yakini akan sangat mengatasi kemacetan. Pun hemat energi, irit bahan bakar, tidak menambah polusi dan tidak menimbun stres. Saya lega sudah membangun setidaknya tujuh ”kota dalam kota”. Dalam satu kota, bisa terdapat hunian puluhan ribu warga, tergantung besaran ”kota dalam kota tersebut”.
Dari formula ini lalu muncul pertanyaan, apakah dengan demikian warga yang bekerja di Jakarta sebaiknya tinggal di Jakarta. Warga yang bekerja di Bogor sebaiknya tinggal di Bogor?
Untuk berdomisili di Bogor, tetapi lebih suka bekerja di Jakarta adalah hak warga. Begitu pula berdomisili di Depok, Bekasi, bahkan Cianjur, tetapi memilih bekerja di Jakarta juga menjadi hak setiap warga. Bagi saya, megasuperblok atau ”kota dalam kota” itu hanya sebuah tawaran atau sebutlah gugahan untuk hidup dan bekerja lebih efisien. Konsep itu bisa juga berupa ajakan, sebab alangkah indahnya kalau waktu tiga sampai empat jam yang biasa dihabiskan untuk perjalanan ke kantor atau pulang kantor digunakan sebaik-baiknya untuk bekerja, berolahraga, atau bahkan mendengar musik atau mendengar kicau burung lebih lama.
Bicara tentang Anda, kapan mulai meniti karier di Agung Podomoro?
Ketika pulang dari sekolah arsitektur di Kaiserslautern, Jerman, 1973, saya langsung terjun ke lapangan. Saya ikut menyekop campuran semen, menyusun batu, memasang atap, makan bersama dengan para tukang.
Anda menyukai detail pekerjaan. Mengapa?
Iya, saya menganggap itu aspek yang amat penting. Kita kan terbiasa bicara besar, tetapi lupa pada detail-detailnya. Maka, setiap hari saya menyempatkan diri datang langsung ke lapangan dan menyapa para staf. Saya tidak mau hanya menyuruh, tetapi menanyakan kebutuhan mereka. Mesti ada upaya lebih menyejahterakan karyawan. Dialog dengan karyawan juga asyik. Bisa dapat banyak masukan.
Anda menyukai percakapan yang menyentuh masalah moral dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Ada peristiwa yang berkesan?
Sebetulnya tidak juga. Saya acap bicara moral semata karena ingin menekankan moral tinggi dan etik dalam bekerja. Saya pun mengajak para staf untuk menghargai pertemanan. Mau mendengar teman berkeluh-kesah, bersimpati kepada kaum papa. Kalau perlu bangun rumah untuk mereka.
Saya kerap menggamit staf untuk melihat rumah-rumah penduduk seluas dua kali dua meter atau kawasan marjinal di tepi sungai. Kita harus membantu mereka agar suatu saat mereka memiliki rumah layak huni. Bukankah kita sama dengan mereka, yang bisa sakit, menangis, terbahak-bahak.
Ada yang hendak Anda sampaikan?
Oh, ya, saya hendak menekankan pentingnya harmoni keluarga. Bagi saya, kalau staf hidup harmonis, pekerjaannya akan keren. Sebaliknya kalau staf suka ribut di dalam keluarga, pekerjaannya pasti tidak beres. Dalam soal begini, saya tidak main-main. Saya bisa memberhentikan seorang eksekutif tingkat tinggi yang ketahuan menelantarkan istri.
Marilah kita jujur, kalau kita pening, kepada siapa kita ajak bicara. Tentu kepada orang terdekat kita, yakni istri dan anak-anak. Kita stres dengan pekerjaan, ada istri yang datang menyapa kita dengan senyumannya yang menyejukkan. Di bola mata istri, kita melihat telaga yang melegakan, di situlah kita berlabuh.

Belajar dari Ciputra

JAKARTA, KOMPAS.com -- Mempertahankan bisnis hingga 30 tahun bukanlah perkara mudah. Apalagi jika bisnis tersebut terus menunjukkan kinerja yang gemilang. Itulah prestasi yang diraih Ciputra Group. Kesuksesan tersebut tidak hanya dirasakan internal perusahaan, tetapi juga dinikmati masyarakat, yang merasa terpenuhi kebutuhan papannya dengan nyaman dan aman.
Ciputra Group yang dirintis tahun 1981 kini telah berkembang menjadi pengembang besar. Setidaknya kelompok bisnis ini telah membangun 30 kota di Indonesia dan luar negeri. Sampai dengan September 2011, Ciputra sudah mencatat penjualan hingga Rp 3,14 triliun. Tahun depan Ciputra mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 2 triliun.
"Saat ini pertumbuhan properti yang paling agresif justru terjadi di luar Jawa. Beberapa daerah yang prospeknya bagus adalah Ambon, Medan, Jambi, Pontianak, dan Banjarmasin," kata Presiden Direktur Ciputra Group, Chandra Ciputra.
Kesuksesan itu tentunya tidak terlepas dari brand Ciputra, sang pendiri, yang begitu kuat. Ciputra selalu identik dengan perumahan hijau, bersih, dan berkualitas. Ciputra (80) adalah sosok pengusaha ulung, tangguh dan alur bisnisnya sepeti air mengalir. Ciputra, yang biasa dipanggil akrab Pak Ci memiliki pengalaman hidup pahit sejak kecil. Namun pengalaman itu justru menjadi cambuk dalam mengawal bisnisnya.
Tak heran saat krisis menerjang tahun 1997-1998, Ciputra sanggup bertahan dan omsetnya terus melesat. Brand Ciputra dirintis sejak tahun 1961, ketika Pak Ci memulainya dengan Group Jaya bersama pemerintah daerah DKI Jakarta, dilanjutkan dengan Group Metropolitan di tahun 1971. Pak Ci memutuskan untuk menjadikan namanya sebagai brand pada tahun 1981 dengan proyek pertama CitraGarden City di Kalideres Jakarta Barat. Beberapa perumahan yang dibangun bahkan menjadi ikon kota bersangkutan karena saking kuatnya brand Ciputra. Misalnya saja Citra Indah yang menjadi ikon Kota Jonggol.
Berkiprah selama 30 tahun di bidang properti, Ciputra Group sudah banyak mengambil peran. Tiap tahun ada ribuan rumah yang dibangun. Artinya Ciputra telah berdedikasi dalam penyediaan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Rumah adalah kebutuhan dasar manusia, jadi semua keluarga pasti menginginkannya. Tiap tahun kebutuhan rumah terus naik seiring dengan pertumbuhan keluarga dan arus urbanisasi.
Masalahnya pasokan rumah tak memadai. Hingga tahun 2010, kekurangan rumah sudah mencapai 8,2 juta unit atau naik 64 persen dibandingkan dengan tahun 2004. Kekurangan rumah terus bertambah karena setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan yang tidak diimbangi oleh kecukupan pasokan. Jika dirata-rata, laju kekurangan rumah (backlog) di Indonesia mencapai 400.000 unit per tahun. Karenanya kontribusi Ciputra dalam penyediaan rumah patut mendapat apresiasi.
Bisnis Ciputra tidak berhenti pada perumahan. Ciputra terus melakukan diversifikasi produk. Hasilnya adalah proyek pembangunan rumah sakit, gedung perkantoran, universitas, dan mal. Inovasi Ciputra Group juga telah menggiring kelompok bisnis tersebut untuk berkiprah di pasar uang. Ciputra memiliki tiga perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Ketiganya adalah PT Ciputra Development Tbk dengan kode CTRA, PT Ciputra property Tbk (CTRP), dan PT Ciputra Surya Tbk (CTRS).
Pembangunan properti Ciputra tak pernah stagnan, karena mereka tidak pernah berhenti untuk melakukan pengembangan, misalnya saja investasi keuntungan dalam bisnis 30 persen diambil sebagai deviden sedangkan 70 persen dipergunakan unuk reinvestasi kembali dalam membangun perumahan. Dengan demikian, bisnis properti selalu berkembang terus menerus.
Dalam membangun properti, Ciputra tidak asal-asalan. Pengembang ini selalu menerapkan prinsip bangunan hijau (green property) di setiap proyeknya. Konsep green property diarahkan pada upaya penghematan energi, sehingga biaya perawatan bangunan serta emisi buang karbon berkurang.  
Konsep tersebut direalisasikan dengan penggunaan double glass pada gedung bertingkat untuk mengurangi efek negatif panas matahari. Penggunaan double glass diperkirakan bisa menekan energi hingga 35 persen. Tidak hanya itu, Ciputra Group juga menerapkan pengelolaan air buangan untuk dimanfaatkan kembali.
Ciputra Group juga mengadopsi fitur bangunan hijau pada sejumlah rumah tapak dengan mendesain rumah banyak jendela. Realisasinya lainnya adalah pemanfaatan energi surya sebagai sumber energi lampu jalan dan taman. Salah satu proyek Ciputra yang mendapatkan setifikasi bangunan hijau adalah Ciputra World Jakarta. Penerapan konsep green property sebenarnya menciptakan keunggulan baru atau diferensiasi bagi proyek-proyek Ciputra. Green property menjadi kekhasan produk Ciputra dalam menuai sukses.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia, Setyo Maharso komitmen green propertybelum banyak diikuti para pengembang karena belum tersedianya insentif. Karenanya ia mengapresiasi Ciputra yang berkomitmen tinggi untuk menjalankan konsep green property.
Apa sebenarnya rahasia kesuksesan bisnis Ciputra Group. Kepada Kompas, Pak Ci sempat menyebut tiga hal rahasia tersebut yakni wisdom, integrity, innovation. "Kalau mau jadi yang terdepan maka harus menjadi hamba yang mau melayani dan memberi. Jangan lupa juga dengan tanggung jawab sosial," Pak Ci.

Sunday, December 25, 2011

Hanya Ada Satu Bos Yaitu Konsumen
Penulis : Tim AndrieWongso
Kamis, 22-Desember-2011




Jangan melihat Wal-Mart sekarang yang pendapatan per tahunnya mencapai US$ 14 miliar dari omset US$ 408 miliar setiap tahunnya. Pada awalnya, Sam Walton, pendiri Wal-Mart, jatuh bangun mendirikan gerai ritel ini.Sam Walton sudah sejak muda terlibat dalam industri ritel sampai-sampai ia jatuh cinta pada industri ini. Pada usia 22 tahun ia sudah bekerja di sebuah gerai ritel milik jaringan JC Penney di Iowa. Namun ia tak mau selamanya ingin jadi karyawan. Setelah wajib militer, pada tahun 1945 Walton membeli sebuah gerai ritel kecil yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga dari sebuah jaringan franchise Butler Brother. Tokonya saat itu bernama Ben Franklin Store. Modal yang digunakannya dari tabungan US$ 5.000 dan pinjaman dari mertuanya sebesar US$ 20.000. Pada saat dibeli tingkat penjualan gerai  Ben Franklin miliknya sekitar US$ 72.000 setahun.
Walton merasa tingkat penjualan itu masih bisa ditingkatkan. Maka ia pun terus memperbaiki tokonya. Ia tak hanya memperbaiki penampilan dan penataan ruang tetapi juga perbaikan sistem pelayanannya. Misalnya, melihat toko lain tutup lebih cepat, Walton malah membuka tokonya hingga larut makan. Bahkan Walton berani memperkenalkan sistem diskon segala.
Perbaikan terus-menerus tokonya membuahkan hasil. Pada tahun 1950 omset tokonya sudah berkembang menjadi US$ 250.000 setahun. Atau berkembang 3,5 kali lipat dalam waktu lima tahun.
Sayangnya perkembangan bisnisnya tersendat. Pemilik tempat tak menghendaki tempatnya diperpanjang yang justru akan digunakan anaknya untuk usaha ritel juga. Walton malah menjual isi tokonya ke pemilik tempat itu. Ia sendiri mendirikan toko baru di tempat lain dan tak khawatir bisnisnya berantakan karena ia sudah menguasai sistemnya.
Konsistensi Walton ke bisnis ritel terus dipertahankannya. Meski nama ritelnya berganti-ganti namun ia terus memperbaiki sistemnya. Sampai akhirnya ia membuka gerai ritel baru bernama Wal-Mart Discount City pada tahun 1962 yang menawarkan diskon. Sejak itulah kerajaan Wal-Mart yang dibangun bersama keluarganya dimulai. Kini Wal-Mart berkembang menjadi lebih dari 8000 gerai di seluruh dunia dan menempatkannya sebagai perusahaan ritel terbesar di dunia.
Semua perkembangan ini terjadi karena pendirinya, Sam Walton, tak bosan memperbaiki segalanya alias perbaikan berkelanjutan untuk memuaskan konsumennya yang terus berkembang. Untuk urusan kepuasan konsumen ini Sam Walton mengatakan, "Hanya ada satu bos (di perusahaan ini) yaitu konsumen. Ia bisa memecat semuanya mulai dari chairman hingga pegawai di bawahnya."

TanggungJawab

Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself (Leo Tolstoy)
Dengan perasaan putus asa, sepasang suami-istri pergi ke seorang ahli jiwa untuk berkonsultasi tentang perilaku anaknya. Mereka sudah tidak tahu apa lagi langkah-langkah yang harus mereka lakukan terhadap anaknya. Sejak beberapa waktu lalu, anak itu suka sekali naik kuda-kudaan milik anak tetangganya dan tidak mau turun, padahal ia sendiri memiliki tiga kuda-kudaan di rumahnya.
Selama ini, semua usaha yang dilakukan untuk memaksa anak tersebut turun hanya membuatnya berteriak dan menjerit. Mau tidak mau, anak ini terpaksa dinaikkan lagi ke kuda-kudaan itu.
Sang ahli jiwa kemudian mendatangi anak tersebut sambil mengelus-elus rambutnya, ia menunduk lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Segera anak itu turun dari kuda-kudaan dan dengan manis mengikuti kedua orang tuanya pulang.
"Bagaimana caramu membujuk anak kami turun? Apa yang engkau bisikkan ke telinganya?" tanya orang tua sang anak kepada ahli jiwa. "Sederhana saja, saya hanya berkata lembut kepadanya, kalau kamu tidak turun dari kuda-kudaan sekarang juga, kamu akan saya pukuli sampai kamu tidak dapat duduk selama satu minggu. Orang tuamu membayar saya untuk itu dan senang hati saya akan melakukannya," jawab ahli jiwa.
Cerita yang saya adaptasi dari buku Doa Sang Katak2 karya Anthony de Mello SJ ini seakan-akan mengingatkan kita kembali bahwa sering kali perubahaan baru benar-benar terjadi setelah kita mendapatkan tekanan dari luar. Saya kerap mengamati ada mahasiswa yang baru benar-benar serius dalam belajar manakala ia terancam drop out. Ada karyawan yang baru berubah perilaku dan kinerjanya setelah mendapatkan surat peringatan. Di tataran yang lebih luas, sebuah perusahaan biasanya akan mengalami perubahan secara signifikan manakala mereka sadar telah tertinggal jauh dibandingkan kompetitor.
Meski demikian, ada juga perubahan yang benar-benar datang dari dalam hati (internal), bukan karena faktor eksternal. Seorang sahabat yang kini menjabat sebagai eksekutif di sebuah perusahaan besar di Jakarta pernah bercerita kepada saya bahwa dia berasal dari keluarga yang sangat miskin. "Orangtua saya hanya buruh tani yang menggarap sawah orang," katanya.
Dengan penuh perjuangan ia akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan jejak S1 lalu diterima bekerja di perusahaan tempatnya berkarir sekarang. Hanya dalam waktu beberapa tahun, ia dipercaya memimpin sebuah cabang yang bergengsi. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat kerja kerasnya. Berbeda dengan karyawan lain yang hitung-hitungan ketika bekerja, sahabat saya ini rela bekerja ekstra atas inisiatif sendiri dan tanpa dibayar.
Ia senantiasa memelihara hubungan dengan klien dan mitra bisnisnya. Di luar jam kantor, ia tidak segan-segan menemani atau membantu kliennya sekali pun hal itu tidak ada hubungan langsung dengan transaksi bisnis mereka. Beberapa waktu kemudian, ia mendapatkan beasiswa S2 dari perusahaannya. Studi lanjut ini adalah bagian dari promosi jabatannya. Luar biasa!
Sebagai sahabatnya, ada satu kualitas darinya yang sangat saya kagumi yakni tanggung jawab. Ya, ia mengambil tanggung jawab penuh atas setiap kepercayaan yang diberikan kepadanya bahkan ia mengambil tanggung jawab penuh atas hidup serta masa depannya. Bandingkan dengan begitu banyak orang yang hanya bisa menyalahkan situasi, kondisi, nasib atau takdir tanpa upaya serius untuk merubah dirinya.
 
Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Michael Kodra, "Success on any major scale requires you to accept responsibility... In the final analysis, the one quality that all successful people is the ability to take an responsibility." Ya, Sukses dalam skala besar menuntut Anda untuk menerima tanggung jawab.. Setelah dianalisa, ternyata kualitas yang dimiliki semua orang sukses adalah kemampuan untuk memikul tanggung jawab. Senada dengan itu, pakar periklanan nasional Ken Sudarto (alm) dalam sebuah wawancara di televisi mengatakan bahwa kata kunci terpenting dalam hidup adalah "tanggung jawab".
____________________________________

- Tulisan ini bersambung. Simak bagian kedua dari tulisan ini (poin-poin penting untuk berubah menjadi lebih baik), esok hari.
- Penulis adalah: Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Kunjungi www.pauluswinarto.com