home

Wednesday, February 22, 2012

Dahlan Iskan di Rumah Perubahan
Sosok yang terkenal karena tidak hanya berwacana tetapi juga bertindak ini berkunjung di Rumah Perubahan dalam rangka menjadi narasumber dari pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank BJB, Februari 2012. Diskusi dan Tanya jawab yang dilakukan berlangsung dengan intensif, tampaknya karena semua peserta yang hadir sangat merindukan sosok yang  sederhana meskipun posisinya adalah pejabat negara. Beberapa hal menarik yang disampaikan oleh Dahlan Iskan antara lain mengenai melakukan perubahan, komposisi organisasi, kekompakan, capacity building, dan masalah mengambil risiko.
Melakukan Perubahan
 Menurut Dahlan Iskan, sebenarnya orang yang menentang perubahan itu kira-kira hanya 10%, maksimal 15% dari komunitas. Tetapi, yang pro  juga hanya 10-15%. “Sisanya itu, sekitar 60%, sebenarnya mengambang saja. Mereka lihat-lihat dulu, mana yang akan menang. Jadi, sebetulnya kalau mau mengadakan perubahan, yang 60% itu pasti ikut. Yang nggak ikut itu paling 10-15%. Yang kelompok itu, biarkan saja, lah. Nanti juga tersisih sendiri, kalah dengan mayoritas,” tuturnya.
Komposisi Organisasi
Manajemen tidak perlu berharap semua karyawannya menjadi orang yang  sangat hebat. “Cukup 5% saja yang hebat. Kelompok ini, jika diberi nilai, kurang lebih di angka 9. Yang nilainya 8, perlu sekitar 15%. Selebihnya, cukup yang bernilai 7, kira-kira 50-60%. Jangan mengharap tidak ada yang jelek. Perlu dipertahankan 5% yang jelek, sebagai kenang-kenangan,” ujarnya memberi tips sambil berseloroh.
Menurut Dahlan, karyawan yang memiliki nilai 9 itu adalah pemikir, pabrik ide, dan pemilik konsep yang hebat-hebat. Kalau jumlah mereka terlalu banyak, akan timbul banyak ide. Dan, jangan salah sangka, “Kebanyakan ide itu juga ruwet!” katanya yang disambut tawa peserta.
Karyawan yang memiliki nilai 8, adalah orang-orang cerdas yang bisa mengubah ide-ide dari para pemikir menjadi konsep operasional. Sebagai perbandingan, mereka yang memiliki nilai 9, jika harus memikirkan konsep operasional, mungkin juga tidak memberikan hasil maksimal akibat terlalu idealis. Selanjutnya, tingkat berikut yang bertugas menjalankan semua rencana tersebut haruslah operator-operator yang sangat trampil. Mereka inilah karyawan yang bernilai 7.  Dari pengalaman Dahlan, kelompok ini memang harus dalam proporsi yang cukup besar. “Sementara karyawan yang bernilai 6, tugasnya adalah penolong untuk yang bernilai 7 tadi,” ujarnya sambil menegaskan bahwa manajemen menjadi tidak realistis jika mengharapkan tidak ada anak buahnya yang berprestasi kurang.
Kekompakan
 Keberhasilan apa pun hanya dapat terjadi karena kekompakan. “Pintar  dan hebat tidaklah cukup. Orang pintar itu banyak. Tetapi jangan merasa bahwa pekerjaan tidak dapat dilakukan tanpa dirinya,” ujar Dahlan. Dalam prinsip Dahlan, bisa saja seorang karyawan (dalam tingkatan apa pun) diberhentikan meskipun ia tidak melakukan kejahatan. Kesalahannya hanya karena tidak kompak, saling menyerang dengan karkwan lainnya. Sebuah tim tidak akan mungkin menyelesaikan persoalan, apa lagi persoalan yang besar, kalau mereka tidak kompak. Dahlan pun membagi resep untuk membuat dream team: pilih pemimpinnya saja. Setelah pemimpin terpilih, baru didiskusikan siapa yang dia calonkan untuk menjadi direksinya.
Mencari orang yang paling bisa diandalkan memang bagian penting dalam sebuah organisasi. Dahlan mencontohkan seorang direktur utama yang dikenalnya. Direktur tersebut memiliki prestasi yang sangat baik, tapi sudah bertekad tidak mau lagi jadi direktur di BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa,setidaknya, direktur tersebut tidak punya interest apa-apa. Setelah dicek, memang terbukti: direktur tersebut adalah orang ini yang paling tahan intervensi politik. “Orang yang integritasnya baik, jika diminta saran siapa yang harus bergabung, pasti memilih orang yang baik. Karena dia merasa orang minoritas dan ingin menjadi mayoritas dengan menciptakan sebanyak-banyaknya orang yang integritasnya baik seperti dirinya,” ujar Dahlan.
 Capacity Building
Cara terbaik melakukan capacity building adalah memberikan beban kerja yang lebih besar di tempat masing-masing. Menambah beban kerja yang dimaksud bukanlah dengan menambah jumlah pekerjaan, tetapi menambah kewenangan orang yang bersangkutan. Hasilnya menunjukkan seberapa besar kapasitas orang tersebut. “Kalau tidak punya kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan, bagaimana dia akan tumbuh? Kalau sudah baik, bebannya memang harus ditambah,” pesan Dahlan.
Mengambil Risiko
Menurut pengamatan Dahlan,orang tidak berani mengambil risiko biasanya karena takut diperiksa (oleh BPK, Kejaksaan, dan lain-lain). “Padahal, pemeriksaan dilakukan karena ada pengaduan, dan pengaduan itu 90% datangnya dari orang dalam. Orang dalam juga tidak gampang mengadu bila dia tidak melihat sesuatu yang salah dari pimpinannya,” ujarnya.Dengan demikian, kalau bawahan tahu bahwa pimpinannya tidak mengambil apa pun untuk kepentingannya (baik kepentingan pribadi, kelompok, dan sebagainya), ia tidak akan melaporkan apa pun. “Jangan kira anak buah tidak memperhatikan atasannya. Karyawan membaca atasan tidak hanya dengan mata, tapi dengan hati,” pesannya sederhana.
 Mengapa Dahlan tidak takut mengambil risiko? Jawabannya sangat lugas, “Itu soal perhitungan saja. Risikonya kan masuk penjara. Masuk penjara, ya masuk penjaralah. Toh mestinya saya sudah mati 6 tahun lalu. Yang penting kan kita tidak makan uangnya, tidak terima komisi, tidak untuk kepentingan saya, tidak untuk kepentingan kelompok saya.” Ia yakin benar dengan apa yang dilakukan dan tahu bahwa ia dapat mempertanggungjawabkannya. Jadi, mengapa takut?
Di akhir pertemuan Dahlan memberikan tips bahwa para pemimpin sebaiknya memikirkan apa yang bisa dipikirkan, jangan memikirkan yang tidak bisa dipikirkan. “Alokasikan pikiran yang terbesar untuk masalah terbesar yang bisa diselesaikan. Menjadi pemimpin yang tidak populer itu bukan masalah. Yang penting (punya) akal sehat,” ujarnya yang disambut tepuk tangan para peserta.