home

Sunday, February 26, 2012

‎*Pendidikan Sebenarnya*

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Wednesday, February 22, 2012

Dahlan Iskan di Rumah Perubahan
Sosok yang terkenal karena tidak hanya berwacana tetapi juga bertindak ini berkunjung di Rumah Perubahan dalam rangka menjadi narasumber dari pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank BJB, Februari 2012. Diskusi dan Tanya jawab yang dilakukan berlangsung dengan intensif, tampaknya karena semua peserta yang hadir sangat merindukan sosok yang  sederhana meskipun posisinya adalah pejabat negara. Beberapa hal menarik yang disampaikan oleh Dahlan Iskan antara lain mengenai melakukan perubahan, komposisi organisasi, kekompakan, capacity building, dan masalah mengambil risiko.
Melakukan Perubahan
 Menurut Dahlan Iskan, sebenarnya orang yang menentang perubahan itu kira-kira hanya 10%, maksimal 15% dari komunitas. Tetapi, yang pro  juga hanya 10-15%. “Sisanya itu, sekitar 60%, sebenarnya mengambang saja. Mereka lihat-lihat dulu, mana yang akan menang. Jadi, sebetulnya kalau mau mengadakan perubahan, yang 60% itu pasti ikut. Yang nggak ikut itu paling 10-15%. Yang kelompok itu, biarkan saja, lah. Nanti juga tersisih sendiri, kalah dengan mayoritas,” tuturnya.
Komposisi Organisasi
Manajemen tidak perlu berharap semua karyawannya menjadi orang yang  sangat hebat. “Cukup 5% saja yang hebat. Kelompok ini, jika diberi nilai, kurang lebih di angka 9. Yang nilainya 8, perlu sekitar 15%. Selebihnya, cukup yang bernilai 7, kira-kira 50-60%. Jangan mengharap tidak ada yang jelek. Perlu dipertahankan 5% yang jelek, sebagai kenang-kenangan,” ujarnya memberi tips sambil berseloroh.
Menurut Dahlan, karyawan yang memiliki nilai 9 itu adalah pemikir, pabrik ide, dan pemilik konsep yang hebat-hebat. Kalau jumlah mereka terlalu banyak, akan timbul banyak ide. Dan, jangan salah sangka, “Kebanyakan ide itu juga ruwet!” katanya yang disambut tawa peserta.
Karyawan yang memiliki nilai 8, adalah orang-orang cerdas yang bisa mengubah ide-ide dari para pemikir menjadi konsep operasional. Sebagai perbandingan, mereka yang memiliki nilai 9, jika harus memikirkan konsep operasional, mungkin juga tidak memberikan hasil maksimal akibat terlalu idealis. Selanjutnya, tingkat berikut yang bertugas menjalankan semua rencana tersebut haruslah operator-operator yang sangat trampil. Mereka inilah karyawan yang bernilai 7.  Dari pengalaman Dahlan, kelompok ini memang harus dalam proporsi yang cukup besar. “Sementara karyawan yang bernilai 6, tugasnya adalah penolong untuk yang bernilai 7 tadi,” ujarnya sambil menegaskan bahwa manajemen menjadi tidak realistis jika mengharapkan tidak ada anak buahnya yang berprestasi kurang.
Kekompakan
 Keberhasilan apa pun hanya dapat terjadi karena kekompakan. “Pintar  dan hebat tidaklah cukup. Orang pintar itu banyak. Tetapi jangan merasa bahwa pekerjaan tidak dapat dilakukan tanpa dirinya,” ujar Dahlan. Dalam prinsip Dahlan, bisa saja seorang karyawan (dalam tingkatan apa pun) diberhentikan meskipun ia tidak melakukan kejahatan. Kesalahannya hanya karena tidak kompak, saling menyerang dengan karkwan lainnya. Sebuah tim tidak akan mungkin menyelesaikan persoalan, apa lagi persoalan yang besar, kalau mereka tidak kompak. Dahlan pun membagi resep untuk membuat dream team: pilih pemimpinnya saja. Setelah pemimpin terpilih, baru didiskusikan siapa yang dia calonkan untuk menjadi direksinya.
Mencari orang yang paling bisa diandalkan memang bagian penting dalam sebuah organisasi. Dahlan mencontohkan seorang direktur utama yang dikenalnya. Direktur tersebut memiliki prestasi yang sangat baik, tapi sudah bertekad tidak mau lagi jadi direktur di BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa,setidaknya, direktur tersebut tidak punya interest apa-apa. Setelah dicek, memang terbukti: direktur tersebut adalah orang ini yang paling tahan intervensi politik. “Orang yang integritasnya baik, jika diminta saran siapa yang harus bergabung, pasti memilih orang yang baik. Karena dia merasa orang minoritas dan ingin menjadi mayoritas dengan menciptakan sebanyak-banyaknya orang yang integritasnya baik seperti dirinya,” ujar Dahlan.
 Capacity Building
Cara terbaik melakukan capacity building adalah memberikan beban kerja yang lebih besar di tempat masing-masing. Menambah beban kerja yang dimaksud bukanlah dengan menambah jumlah pekerjaan, tetapi menambah kewenangan orang yang bersangkutan. Hasilnya menunjukkan seberapa besar kapasitas orang tersebut. “Kalau tidak punya kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan, bagaimana dia akan tumbuh? Kalau sudah baik, bebannya memang harus ditambah,” pesan Dahlan.
Mengambil Risiko
Menurut pengamatan Dahlan,orang tidak berani mengambil risiko biasanya karena takut diperiksa (oleh BPK, Kejaksaan, dan lain-lain). “Padahal, pemeriksaan dilakukan karena ada pengaduan, dan pengaduan itu 90% datangnya dari orang dalam. Orang dalam juga tidak gampang mengadu bila dia tidak melihat sesuatu yang salah dari pimpinannya,” ujarnya.Dengan demikian, kalau bawahan tahu bahwa pimpinannya tidak mengambil apa pun untuk kepentingannya (baik kepentingan pribadi, kelompok, dan sebagainya), ia tidak akan melaporkan apa pun. “Jangan kira anak buah tidak memperhatikan atasannya. Karyawan membaca atasan tidak hanya dengan mata, tapi dengan hati,” pesannya sederhana.
 Mengapa Dahlan tidak takut mengambil risiko? Jawabannya sangat lugas, “Itu soal perhitungan saja. Risikonya kan masuk penjara. Masuk penjara, ya masuk penjaralah. Toh mestinya saya sudah mati 6 tahun lalu. Yang penting kan kita tidak makan uangnya, tidak terima komisi, tidak untuk kepentingan saya, tidak untuk kepentingan kelompok saya.” Ia yakin benar dengan apa yang dilakukan dan tahu bahwa ia dapat mempertanggungjawabkannya. Jadi, mengapa takut?
Di akhir pertemuan Dahlan memberikan tips bahwa para pemimpin sebaiknya memikirkan apa yang bisa dipikirkan, jangan memikirkan yang tidak bisa dipikirkan. “Alokasikan pikiran yang terbesar untuk masalah terbesar yang bisa diselesaikan. Menjadi pemimpin yang tidak populer itu bukan masalah. Yang penting (punya) akal sehat,” ujarnya yang disambut tepuk tangan para peserta.

Thursday, February 16, 2012

Yang Muda yang Bertani

HANYA 5% petani berdaya secara ekonomi, memiliki akses terhadap informasi dan pasar, serta menguasai teknik produksi modern. Data Badan Pusat Statistik yang melakukan survei jumlah petani setiap 10 tahun menunjukkan pada 1992 terdapat 17 juta kepala keluarga (KK), kemudian bertambah menjadi 22 juta KK pada 2002.

"Pasti di survei berikutnya terus berlipat. Sayangnya, yang 80% itu SD ke bawah, hanya 20% yang di atas SD, dan hanya 5% dari 20% itu yang bisa kita sebut berdaya," ujar Winarno Tohir, Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) yang juga petani padi dan mangga itu.

Kabar baiknya, lanjut Winarno, akses informasi dan bangkitnya semangat berwirausaha membuat jumlah petani baru terus bertumbuh. Sebagian dari mereka tak berlatar belakang keluarga petani dan memilih bertani karena alasan ekonomis maupun gaya hidup. Generasi baru sektor pertanian ini memiliki rentang usia belasan hingga 40-an tahun.

"Tapi ingat, ini masih parsial. Walaupun gerakan petani modern ini sudah mulai intens, petani guram sih biasanya ingin anaknya jadi pegawai biar tidak nelangsa seperti orangtuanya," kata Winarno.

Walaupun begitu, Ade Dwi Adedi, 48, yang kini membina 200 petani melon di Cilegon, Banten, mengaku sebagian juniornya berorangtua petani. Sebelum kembali ke kebun, para petani binaannya berprofesi sebagai pengojek bahkan penganggur.

"Tapi kisah para petani binaan saya di kebun berbeda dengan orangtua mereka. Dengan lahan sewa seluas 3.000-5.000 m2 mereka bisa meraup pendapatan bersih Rp24 juta per dua bulan. Namun, karena karakter tanaman kita high risk high return, risikonya juga lumayan. Nah, dengan berkumpul, risiko itu bisa diminimalkan," kata Ade.(Zat/M-1) Kompas.com

Growth Mindset - Jawapos 13 Februari 2012
Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di FEUI. Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40 anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda (21,5 tahun).

Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan almarhum Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI  yang ditugaskan melakukan wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan  data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.

“Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 pada saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas objektif dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai orang ini tidak cerdas.  Tetapi karena  kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun seseorang.  Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK?

Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya merupakan langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impak: apa yang bisa Anda diberikan atau dilahirkan.  Maka kepada mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impak jauh lebih penting.  Celakanya universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.


Kualitas Intake

Jadi, di akhir pekan kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki anak-anak yang cerdas, namun di lain pihak saya gelisah kalau mereka yang ber IPK tinggi itu produk settingan tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah.

Karakter orang-orang dengan settingan tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi akademik di masa lalu bisa menjadi pemicunya.

Padahal kita semua butuh orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini : Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak berarti apa-apa, bila tidak cerdas. Tetapi studi yang dilakukan Dweck memberi jawaban yang melengkapi : pintar yang kita butuhkan adalah bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di setting untuk tumbuh (growth mindset).

Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.

Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak terlalu mengandalkan test-test tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademik masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang memiliki hasil tes yang tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang disetting tetap.

Tetapi apalah artinya semua itu kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai pendidik merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekedar mendapat ijazah. Jadi, ke 40 anak-anak muda yang lulus cum laude itu tentu masih ingat, bahwa musuh besar mereka adalah kebanggan yang berlebihan terhadap prestasi yang telah dicapai kemarin.

Kedepan, Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri.
Untuk melahirkan manusia-manusia unggul diperlukan kualitas intake yang baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh.  Maka proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah dan di akhir.  Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernafas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa hal ini bisa diatasi dengan settingan pikiran yang tepat.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
BJB - Sindo 16 Februari 2012
Tiga tokoh perubahan pekan lalu bertemu di pendopo kami di Rumah Perubahan. Ketiganya adalah CEO yang sama-sama dipercaya publik berhasil membawa perubahan. Yang pertama,CEO yang kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Kedua CEO Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dan yang ketiga pemimpin baru Bank BJB Bien Subiantoro. Bien Subiantoro, mantan Direksi Bank BNI yang kini memimpin BJB, membawa sekitar 100 orang staf dan jajaran pemimpin Bank BJB untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang dia pimpin.

Mereka belajar dari para tokoh perubahan bagaimana menghadapi perubahan. Menurut Macquarie Equities Research pada laporan yang diterbitkan 2 Februari 2012, Bank BJB pantas mendapat perhatian. Bank ini,menurut Macquarie, telah memasuki tahapan baru:starting new chapter.

Bank Nasional

Seperti kebanyakan bank milik pemerintah daerah lain, Bank BJB juga mengalami pergulatan internal yang hebat. Namun beruntung BJB berhasil keluar dari dilema-dilema kedaerahan dalam sebuah pertarungan yang panjang. Terkurung dalam niche-nya yang sempit,bank-bank daerah seperti tak punya pilihan. Pemiliknya tak hanya gubernur, melainkan juga para bupati.

Selama bertahun-tahun bank daerah telah menikmati pasar yang captive, yaitu pemerintahan- pemerintahan daerah. Bank daerah adalah ibarat kasir bagi pemerintah provinsi dan kotamadya/kabupaten. Pegawai-pegawai pemda otomatis menerima gaji dan sekaligus menjadi nasabah bank daerah di wilayahnya. Bank Indonesia menginginkan bank-bank daerah menjadi local champion di wilayahnya masing-masing. Namun, sejalan dengan waktu, danadana milik pemerintah daerah ternyata juga diminati bankbank nasional dan bank-bank asing.

Nasabahnya juga demikian, menjadi sasaran empuk bank-bank swasta dan bank-bank nasional. Di lainpihakiklimdemokrasi dan pasar bebas telah membuat bank-bank daerah kesulitan mempertahankan teritorinya. Ada banyak kasus yang menunjukkan para bupati dan wali kotatidak100% setiapadabank miliknya. Bila Pak Wali Kota atau Pak Bupati tersinggung, kas daerah bisa dipindahkan seketika ke bank lain.

Namun bila masalah-masalah seperti itu tak ada, bank daerah menjadi terlalu nyaman. Anda bisa bayangkan masih banyak bank daerah yang warna kedaerahannya sangat kental. Maaf, bukan kental corak budayanya, melainkan kepentingan orang per orangnya. Artinya, mereka enggan mematuhi perintah hierarki. Rotasi karyawan menjadi sangat sulit karena masingmasing mempunyai hubungan dengan penguasa setempat.

Bukan hal yang luar biasa bila CEO bank daerah ditelepon bupati hanya karena soal pindahmemindahkan karyawan. Inilah suasana yang saya sebut sebagai “budaya kucing” dalam buku Cracking Zone. Dana mudah pindah tangan, karyawan sulit ditangani, dan produknya tidak jelas. Mungkin di daerah Anda, manajemen bank-bank daerah tidak seekstrem itu.Tetapi secara umum demikianlah pergulatan sekitar 12 orang CEO bank daerah yang “diimpor” para gubernur dan bupati dari bank-bank nasional untuk memajukan bank-bank daerah.

Sudahbegitu,paraCEOpunmasih harus berhadapan dengan persoalan governance yang meletihkan. Jadimereformasibank-bank daerah, menjadikannya regional champion, apalagi menjadikannya national champion bukanlah persoalan sederhana. Ke atas mentok,ke kiri tembok, ke kanan kawat berduri.Namun bukan CEO namanya kalau mereka mendiamkannya.

Mungkin BJB dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik bagaimana bank asal daerah milik pemerintahan daerah berhasil keluar dari kusutnya semangat kedaerahan yang sempit,menjadi bank nasional yang kompetitif dan sehat. Bila pada akhir 2009 asetnya baru Rp32,41 triliun, kini sudah di atas Rp53 triliun.

Good Governance

Tentu saja semua kemajuan berasal dari adanya good governance.Menjadi kas daerah bukan berarti penguasa-penguasa daerah bebas memasukkan tangannya kepada operasional perbankan. Demikian pula bukan berarti eksekutif bebas semaunya memimpin. Namanya bank, tentu saja harus ditangani secara prudent. Maka sudah pasti bank daerah perlu bekerja keras mendapatkan CEO—dan tentu saja jajaran direksi yang solid dan bersih.

Dulu pemimpin-pemimpin daerah bebas memilih orang, sekarang pemerintah daerah “beruntung” karena mereka harus mendapat persetujuan bank sentral untuk mengangkat direksi. Direksi yang sudah diputuskan RUPS bisa saja tidak jadi terus bila Bank Indonesia menemukan catatan-catatan khusus tentang kandidat tersebut. Setelah itu CEO harus berani memutuskan ke mana banknya diarahkan.

Sudah pasti ia hanya punya dua pilihan: Mendiamkan hidup di masa lalu yang nyaman dengan “budaya kucing” atau keluar dari belenggu masa lalu dan menjadi “cheetah”yang siap berlaga di medan tempur. Yang pertama berarti tidak memerlukan perubahan. Strateginya cukup survival. Untuk yang kedua Anda butuh seorang cracker yang tidak mendiamkannya.

Strateginya: menjadi champion,pemenang! KalauAnda menjadi cracker sudah pasti akan berhadapan dengan dua atau tiga pihak. Pertama Anda akan berhadapan dengan para “kucing” yang ingin mempertahankan comfort zone.Kedua,Anda akan berhadapan dengan dewan komisaris yang juga ingin mempertahankan ketenangan. Ketiga, Anda akan dikutuk pemain- pemain nasional yang siap menerkam pasar Anda.

Nah,bagaimana BJB keluar dari belenggu-belenggu itu? Ceritanya begitu panjang. Dimulai dari CEO terdahulu, Agus Ruswendi,yang meletakkan dasar-dasar agar BJB beralih menjadi bank nasional yang mandiri. Melalui pergulatan yang panjang ia berhasil menjadikan BJB perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu perubahan terus digulirkan. Change management office dibentuk untuk mempercepat transformasi. Seluruh jajaran pemimpin dibekali teknik change management.

Di era Bien Subiantoro, gerak BJB menjadi lebih solid lagi. Ia memperbarui jaringan dan teknologi informasi bank ini, memperbaiki business process, dan pelayanan.Seperti pada beberapa perusahaan lain yang saya ikuti, BJB memulainya dari “people”. Kompetensi budaya kerja diperbarui. Kemarin saya mengatakan pada para pemimpin BJB bahwa kini suasana baru telah terbentuk.

Bila dua tahun lalu “loading”orang-orangnya agak lambat, kini jauh lebih cepat. Mereka pun tengah terlibat dalam breakthrough project yang strategis. Kita dapat menyaksikan sebuah babak baru telah hadir dari Bandung. Kini BJB telah menjadi aset nasional yang penting dan bank-bank daerah bisa belajar bagaimana transformasi dapat dijalankan dengan penuh semangat. Kalau BJB bisa,apa iya yang lain tidak bisa? ●

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Monday, January 9, 2012


WAWANCARA: China dan AS berbagi kepentingan di Asia


Hal ini terungkap dalam wawancara Luo Zhaohui, Dirjen Deplu China dengan harian Partai Komunis China, People Daily jelang pertemuan tingkat tinggi di Beijing pada pekan depan yang membahas Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) di Laut China Selatan yang diteken di Asean Summit, November lalu di Bali:


Bagaimana Anda melihat situasi di Korut dan Asia Timur Laut setelah kematian pemimpin Kim Jong-il? Apa harapan Anda pada pengembangan hubungan China-Korut? Apakah Anda memiliki keyakinan dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di Asia Timur dan melanjutkan Pembicaraan Enam-Pihak? Apakah Anda pikir akan ada perang antara Korsel dan Korut?

China dan Korut adalah tetangga yang bersahabat. Kim Jong-il telah membuat kontribusi penting untuk mengembangkan sosialisme dan persahabatan Sino-Korut, bertetangga baik dan kerjasama.

Kami percaya bahwa rakyat Korut, di bawah kepemimpinan Partai Pekerja Korea dan Kim Jong-un, pasti akan berupaya membangun sebuah negara sosialis yang kuat dan menjaga perdamaian dan dan stabilitas Semenanjung Korea.

Tekad China pada pemeliharaan stabilitas Semenanjung Korea. Pembicaraan Enam-Pihak merupakan mekanisme yang efektif untuk mewujudkan denuklirisasi di wilayah ini dan menjaga perdamaian dan stabilitas semenanjung dan Asia Timur.

Meskipun perubahan baru dengan situasi regional, saya masih percaya bahwa pembicaraan Enam Pihak pasti akan restart dan membuat kemajuan positif asalkan pihak terkait terus kepercayaan, menunjukkan ketulusan politik mereka dan melanjutkan dialog.

Pada awal 2012, empat anggota Dewan Kota Jepang mendarat di Kepulauan Diaoyu. Apakah akan mempengaruhi hubungan China-Jepang sebagai dua negara menandai 40 tahun normalisasi hubungan diplomatik mereka tahun ini? Apa kepentingan strategis bersama untuk China dan Jepang? Bagaimana membangun kepercayaan politik bersama?

Pulau Diaoyu telah menjadi isu lama berdiri. Pemerintah China memegang sikap tegas bahwa China berdaulat atas Kepulauan Diaoyu. Keempat aktivis sayap kanan yang mendarat di Kepulauan Diaoyu tidak akan mengubah fakta bahwa Kepulauan Diaoyu adalah bagian dari China. Setelah kejadian itu, kami mengajukan protes serius ke Tokyo, menekankan bahwa Kepulauan Diaoyu adalah bagian tak terpisahkan dari China dan China melarang pendaratan tersebut. Kami telah bersikeras mencari solusi damai melalui negosiasi bilateral. Sebelum masalah tersebut diselesaikan, kami menuntut Jepang tidak melakukan gangguan apapun dengan meluncurkan aksi sepihak.

Apa kebijakan China terhadap isu Laut Cina Selatan?

Pertama, China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Kepulauan Nansha dan perairan di sekitarnya dengan dasar hukum. Untuk melindungi kedaulatan dan hak-hak dan kepentingan maritim adalah tujuan mendasar dari diplomasi China.

Kedua, kami selalu berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim dan kepentingan atas Laut China Selatan dengan pihak terkait melalui negosiasi dan konsultasi.

Ketiga, sebelum resolusi tercapai, kami menganjurkan: pertama, menempatkan mengesampingkan perselisihan dan mengembangkan ekonomi secara bersama-sama, kedua, meningkatkan saling percaya dan menghilangkan keraguan politik, dan ketiga, tidak memiliki ketakutan atas krisis dan cadangan tidak upaya untuk membela hak-hak kami dan kepentingan, dan memiliki kontrol yang baik dari krisis dalam kasus itu memburuk.

Apa langkah China dan negara-negara Asia lain dalam mempromosikan dan mewujudkan Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) di Laut China Selatan, dan apa artinya bagi perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan?

Berdasarkan (DoC) di Laut China Selatan, China dan negara-negara ASEAN menjalin kerja sama pada lima bidang yang kurang sensitif termasuk penelitian ilmiah kelautan, perlindungan lingkungan, pencarian dan penyelamatan, dan memerangi kejahatan transnasional.

Hal ini memainkan peran positif dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. Kedua pihak juga diadakan negosiasi mewujudkan deklarasi, dan mencapai kesepakatan tentang tindak lanjut nya pedoman. Kami juga bersedia untuk membangun kode etik Laut China Selatan dengan mereka [Asean].

Saat ini, kami telah meluncurkan kerja sama pragmatis dalam rangka deklarasi tersebut, diadakan seminar tentang mempertahankan kebebasan dan keselamatan navigasi di Laut China Selatan sebagai klaim deklarasi, dan mengatur dana kerjasama China-Asean maritim.

China dan Vietnam telah mencapai kesepakatan prinsip pada penyelesaian masalah maritim mereka. China dan Indonesia juga mendirikan sebuah komite kerja sama maritim dan yayasan kerja sama maritim.

Bagaimana Anda melihat masa depan hubungan Sino-Pakistan?

Saya diangkat sebagai duta besar China untuk Pakistan pada Maret 2007 dan kembali ke pada Juni 2010. Waktu yang sangat spesial bagi saya sebagai diplomat. Tahun lalu menandai peringatan 60 tahun pembentukan hubungan Sino-Pakistan, ketika kedua negara itu kunjungan diplomatik pada tingkat utama untuk merayakan kesempatan itu.

Persahabatan lama antara China dan Pakistan adalah manfaat dari 'devosi pribadi, dua negara' pemimpin atas dukungan tanpa syarat untuk masalah inti masing-masing dan persahabatan yang mendalam antara orang-orang.

China dan Pakistan memiliki serba kerja sama. Ketika gempa Wenchuan melanda China pada 2008, Pakistan mengirimkan tenda 30.000 ke China, yang sebenarnya untuk cadangan nasional mereka.

Menteri luar negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi kemudian memberitahu saya bahwa mereka akan melakukan apa pun yang diperlukan. Sebagai imbalannya, ketika Pakistan menderita akibat bencana alam, China mengirimkan bantuan ke Pakistan sesegera mungkin.

Tidak ada masalah antara kedua negara. Ketika Penasihat Negara China Dai Bingguo mengunjungi Pakistan pada 24 Desember 2011, dia menggunakan istilah "Persahabatan Besi" untuk menggambarkan hubungan antara Pakistan dan China, sementara para pemimpin Pakistan mengatakan mereka berharap hubungan bisa tumbuh menjadi seperti baja.

Selanjutnya, saya berharap kedua negara dapat mengembangkan kerja sama perdagangan yang lebih karena kami berdua memiliki pasar yang besar dan mendorong generasi muda untuk tahu lebih banyak tentang satu sama lain.

Apa Anda bisa membagi informasi tentang perkembangan terbaru konflik antara penjaga pantai Korsel dan nelayan China pada 12 Desember? Korsel telah memperbaharui hukuma anti penangkapan ikan ilegal, jadi apa China akan mengambil tindakan? Apa dampak pada hubungan kedua negara?

Pihak China menyesalkan bahwa insiden baru-baru menyebabkan kematian seorang perwira penjaga pantai Korsel, yang sangat disayangkan.

Kami percaya bahwa nelayan nelayan China kegiatan di beberapa daerah laut untuk mata pencaharian mereka, tetapi ketika beberapa insiden terjadi, kami akan bekerja untuk solusi yang jelas dan tepat.

China wajib untuk melindungi hak hukum dan kepentingan nelayan China, dan kami mendesak penegak hukum dari pihak berwenang Korsel memperlakukan secara manusiawi nelayan China, tanpa menggunakan senjata.

Otoritas nelayan China telah mengambil langkah untuk memperketat regulasi di kapal penangkap ikan di laut. Kami hal ini tidak mempengaruhi hubungan bilateral antara China dan Korsel.

Amerika Serikat telah mengumumkan akan memperkuat kehadiran militernya di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini mulai menghangatkan hubungan dengan tetangga Myanmar. Apakah Anda pikir kita sedang menghadapi tekanan dari hubungan diplomatic AS dengan negara tetangga kita? Bagaimana seharusnya China berurusan dengan hubungan Sino-AS di wilayah Asia-Pasifik?

Amerika Serikat memperkuat kehadiran militernya di wilayah Asia-Pasifik sebagai bagian dari kebijakan mereka. Hal itu juga membuktikan energi dan potensi wilayah.

Asia adalah rumah bagi China, dan pembangunan China tidak terlepas dari Asia dalam aspek politik, ekonomi dan sejarah. Kami memiliki kondisi dan kemampuan untuk berurusan dengan diplomasi tetangga.

China dan AS berbagi banyak kepentingan bersama di Asia. Itu tak terelakkan untuk menimbulkan beberapa friksi, tetapi kerja sama adalah tujuan utama. Dan kerjasama kedua negara 'akan membantu untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas kawasan, yang merupakan keinginan semua negara di kawasan.

Dalam beberapa tahun terakhir, China dan AS bekerja sama melalui kunjungan pemimpin tertinggi', dialog strategis dan ekonomi, dan konsultasi Asia-Pasifik.

China tidak akan melakukan provokasi apapun tetapi tidak takut provokasi apapun. Dan kami menegaskan China untuk tetap di jalan damai. Kami bertekad untuk melindungi keuntungan kita dan mencari perdamaian.

Diplomasi China adalah untuk kepentingan negara kami dan kami akan maju terus dan bereaksi aktif dalam hubungan diplomatik dengan negara tetangga kita.

Apa arti dan karakteristik dari kebijakan lingkungan China asing? Bagaimana Anda mengevaluasi situasi diplomatik saat ini di Asia?

Negara-negara tetangga memiliki pengaruh penting di China, kebijakan luar negeri sehingga China menempatkan diplomasi lingkungan sebagai prioritas utama.

China memiliki sebagian besar negara tetangga, totalnya 20, yang beragam dalam ukuran, sistem politik, tahap pengembangan, agama dan budaya, dan beberapa yang juga memiliki sejarah sengketa dengan China. Mekanisme regional mempertahankan momentum yang baik. (LN)
 Bisnis.com

Sunday, January 8, 2012

Seni Menikmati Hidup Bebas Stres
Penulis : Suhardi
Sabtu, 07-Januari-2012




Suatu ketika, beberapa orang murid mengunjungi gurunya. Mereka adalah alumni yang sudah terjun ke masyarakat dengan profesinya masing-masing. Awalnya perbincangan mereka sangat menyenangkan. Namun tiba-tiba percakapan tersebut mengarah kepada keluhan mengenai pekerjaan dan hidup mereka yang penuh tekanan.Lalu sang guru pergi ke dapur untuk mengambilkan kopi untuk para muridnya. Sang guru kemudian kembali dengan membawakan teko besar berisi kopi dan beberapa jenis cangkir yang berbeda-beda: ada cangkir kaca, porselen, plastik, kristal, ada yang terlihat biasa, ada yang terlihat murahan, ada yang mewah dan mahal, ada yang terlihat indah. Lalu sang guru menyuruh muridnya untuk mengambil salah satu cangkir tersebut dan menuangkan kopi ke dalamnya.
Ketika masing-masing murid sudah memegang cangkir berisi kopi, gurunya berkata, "Seperti yang kalian lihat, semua cangkir yang indah dan mahal diambil oleh kalian. Yang tertinggal hanya cangkir biasa dan murahan. Tidak masalah jika kalian mengambil yang terbaik. Tapi sayangnya itulah sumber dari stres dan masalah."
Gurunya melanjutkan, "Kalian harus tahu cangkir ini tidak akan mengubah rasa kopi ini menjadi lebih istimewa. Cangkir tetaplah cangkir, yang tidak akan mempengaruhi isi kopi di dalamnya. Hanya cangkirnya saja yang mahal dan bahkan seringkali menyembunyikan isi di dalamnya."
Para muridnya terdiam mendengarkan perkataan gurunya. "Sebenarnya yang kalian inginkan adalah kopi, bukan cangkirnya. Tapi yang kalian lakukan tadi adalah fokus dan mempermasalahkan cangkirnya. Kalian tanpa sadar melihat cangkirnya dan saling melihat cangkir orang lain," gurunya menjelaskan.
"Anggap hidup kalian adalah kopi. Lalu pekerjaan, bisnis, uang dan jabatan adalah cangkir yang hanyalah menampung hidup itu sendiri. Dan jenis cangkir yang kita miliki tidaklah menentukan dan mengubah kualitas kopi yang kita minum. Artinya pekerjaan, bisnis, uang dan jabatan tidaklah menentukan kualitas hidup kita. Terkadang dengan fokus pada cangkir, kalian tidak akan bisa menikmati kopi paling mahal dan nikmat sekali pun."
Gurunya mengakhiri dengan kutipan, "Ingatlah ini. Orang yang bahagia tidak selalu memiliki yang terbaik dalam hidupnya. Mereka hanya mampu menjadikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki saat ini." Para murid senang dengan jawaban yang diberikan gurunya yang bijak tersebut.
Pesan kepada pembaca:
Seperti pada cerita di atas, dikatakan bahwa cangkir paling bagus dan mahal sekali pun tidak akan mengubah kualitas kopi menjadi lebih baik. Kopi tetaplah kopi dan cangkir tetaplah cangkir. Cangkir paling mahal belum tentu isi kopinya paling mahal dan begitu pula sebaliknya.
Lalu apa yang bisa kita petik dari cerita di atas? Apa pun yang kita miliki saat ini tidaklah sepenuhnya menentukan kualitas hidup kita. Artinya kita tetap bisa menjadikan hidup ini lebih baik dan bermakna terlepas dari apa yang kita miliki sekarang. Jika kita selalu dan terus mempermasalahkan apa yang kita miliki, kita tidak akan pernah memiliki waktu untuk menikmati hidup yang telah dianugerahkan kepada kita.
_____________ 

Thursday, January 5, 2012

Refleksi Global Player - Sindo 5 januari 2012
Larry Downes yang menulis Beyond Porter mengingatkan kita akan pentingnya para pelaku UMKM melihat dirinya dalam global context. Penulis-penulis lain mengingatkan betapa globalisasi telah menjadi ancaman serius bagi para pengisi ceruk pasar. 
Tapi di Indonesia, saya mengatakan, tak usah ada globalisasi, Indonesianisasi saja sudah cukup membuat para pembuat kecap lokal kesulitan bernapas. Bukankah dulu setiap daerah di Indonesia ini punya merek kecap masing-masing? Kalau tidak gagal bersaing, mereka habis dicaplok merekmerek nasional. Sewaktu dibeli, mereka berpikir mereknya akan jadi besar, tapi nyatanya hanya untuk ditelan dan dimakan pasarnya. 
Kata Philip Kotler, itu namanya guppies strategy, strategi ikan-ikan kakap memangsa ikan-ikan teri. Lantas, bagaimana melawan kekuatan global? Wali kota sehebat Joko Widodo tidak gentar. Ia langsung memesan mobil-mobil buatan siswa-siswa SMK Surakarta dan memamerkannya kepada khalayak bahwa mobil ini lebih baik dari Toyota Camry-nya yang sudah berusia senja. 
Kendati dicibir gubernurnya sendiri yang mungkin masih kesal dengan keributan kasus Sari Petojo, Joko Widodo tetap bilang mobilnya layak pakai. Pak Gubernurbilanghati-hatimasalah keamanan meski akhirnya Gubernur bilang bagus juga kalau kita mendukungnya.Tapi Pak Gubernur belum tentu akan ikut pamer seperti wali kotanya kendati keduanya diusung partai yang sama. 
Padahal mobil Esemka dan Rajawali buatan anak-anak sekolah itu bakal berat melawan gempuran merek global. Walaupun harganya murah, saat ini di pasar sedang bersiap-siap masuk mobil-mobil berharga di bawah Rp100 juta. Kemarin Bajaj yang biasa membuat sepeda motor dan kendaraan roda tiga sudah meluncurkan mobil murah yang mungil. Peluncurannya pun megah, diekspos bukan hanya oleh TV One atau Metro TV, tapi oleh jaringan berita internasional. 
Identitas Lokal 
Sebagai refleksi, saya ingin mengajak Anda menyaksikan bagaimana ribuan merek lokal bertempur seorang diri memasuki pasar global. Di Cirebon, para perajin furnitur yang dulu gencar membuat kursi rotan sudah lama mati setelah Menteri Perdagangan membiarkan bahan baku diekspor secara bebas dan mereka kesulitan bahan baku.Tapi cerita di balik pudarnya kerajinan furnitur dari Cirebon lebih dahsyat dari sekadar bahan baku.Sekitar 10 tahun lalu,saat mengikuti pameran dagang di Jakarta, mereka mengatakan,
”Tahun ini omzet saya bagus,permintaan banyak, pembeli terus berdatangan.” Namun,setahun kemudian, di pameran yang sama mereka mulai mengeluh. ”Buyer yang dulu berbelanja dan memesan dalam jumlah besar sekarang menjadi tetangga saya dan kini ia ikut pameran membuka stan di depan counter saya.” Bule Jerman atau bule Spanyol pedagang furnitur itu kini menjadi orang Cirebon dan punya pabrik besar. Setahun berikutnya, saya mulai mendengar keluhan- keluhan baru. 
Banyak buyeryang pura-pura membeli, tapi diam-diam memotret desain buatan produsen Cirebon yang dijajakan begitu indah di pameran.Alih-alih memberi layanan yang manis, muka mereka mulai sedikit kencang karena karya-karyanya dipotret dan diduplikat. Hari ini, saat berkunjung ke Cirebon, seorang pegawai bank yang banyak menangani nasabah-nasabah UKM di sana mengatakan,“ Masa emas furnitur telah berlalu. Genteng di Jatiwangi masih kuat,tetapi ke depan mereka mulai terancam genteng logam,”ujarnya lirih. 
Di Bandung, Plered, Garut, dan banyak kota kecil lain,ribuan bahkan jutaan UMKM bergulat dengan persoalan globalisasi yang berbeda-beda.Hasan Batik di Bandung misalnya, yang dulu (1975) didirikan dosen Jurusan Seni Rupa ITB Hasanuddin (alm), juga bergelut melawan globalisasi di usia senjanya. Sebelum krismon,studio dan sekolah membatiknya digemari turis asal Jepang dan ia tumbuh begitu pesat.Tapi begitu krismon melanda,mereka benar-benar kehabisan akal. 
Setelah ditinggalkan karyawan- karyawan terampilnya, studionya pun mengalami musibah kebakaran.Tapi, beruntung, Pak Hasan tidak hanya mewarisi pabrik dan keterampilan, melainkan juga tiga putri yang tekun meneruskan usaha. Sania Sari,Tri Asayani,dan Ranitrayani melawan gempuran globalisasi. Di tangan mereka ada harta-harta tak kelihatan (intangibles) yang diwariskan seorang ilmuwan yang gencar melatih keterampilan bersama ibu yang membawa garis DNA batik Pekalongan.
Merekalah yang membalikkan kembali kejayaan Hasanuddin dengan identitas lokal dan UMKM. Berapa omzetnya? Kepada tim riset yang saya pimpin,mereka mengaku Rp75 juta per bulan dengan 20 orang karyawan. Lain Hasan Batik, lain pula Eddy Permadi. Namanya memang belum setenar Tri Mumpuni, tetapi dosen ini tak mau diam menyaksikan pengangguran. Ia membuat turbin mikrohidro untuk menghasilkan energi.
Namun, namanya juga identitas lokal, Eddy mengisi hari-hari kosong order turbinnya dengan mengalihkan karyawannya menjadi pembuat bandrek dan bajigur.Tak ada dalam buku strategi bisnis mana pun di dunia ini yang mencontohkan gabungan usaha antara turbin dengan bajigur. Tapi di Cihanjuang ini riil. Keduanya jalan bagus. 
Eddy bisa membuat turbin 1 sampai 3 megawatt, di samping pembangkit yang mikro (untuk 3.000 watt listrik) dengan omzet Rp10 miliar–15 miliar setahun, tapi juga bajigur yang menyerap 100 ton jahe dari Lampung dengan omzet Rp4,5 miliar setahun. Eddy yang pernah menikmati pendidikan di Swiss tentu berbeda dengan Eman Sulaeman yang berjuang mengangkat identitas perajin gerabah di Plered. 
Meski keluarganya dari dulu hidup dari gerabah, generasinya mengalami gempuran globalisasi yang lebih berat. Gerabah tak hanya menembus dunia dari Plered,melainkan juga dari Thailand, Vietnam,Filipina, dan negaranegara Amerika Latin. Mereka semua menembus pasar dengan pengetahuan dan teknologi yang dipadukan dengan sentuhan tangan etnik. Bahanbahan beracun dikontrol ketat, teknik pembakaran dan bahan baku memerlukan pengetahuan tingkat tinggi.
Dengan segala keterbaasannya, Eman harus siap menerima penolakan pasar kalau barangnya dinilai tidak memenuhi standar. Setiap tahun Eman harus puas menjalani usaha dengan omzet Rp400 juta–500 juta. Saya tidak tahu persis bagaimana Pemerintah Malaysia begitu fokus membina usahawannya membangun local brand seperti cokelat Barley atau tas dan sepatu Vinci dan Nose.
Tapi, sepengetahuan saya, pemerintah kurang aktif mem-branding local product yang kuat. Kala cokelat Barley digencarkan, Kiki Gumelar juga punya impian menjadi pemain global. Putra asal Garut ini terispirasi oleh cokelatCeresyangkatanya dulu dimulai dari Garutjuga. MakaKiki juga melawan globalisasi dengan identitas lokal,yaitu dodol Garut,sehingga cokelatnya diisi dodol dengan merek Cokodot. 
Skala Global 
Saya tak tahu selera lokal atau identitas lokal apa yang bisadibangundibalikpembuatan mobil-mobil nasional yang mulai digulirkan ke pasar.Namun belajar dari IPTN yang dulu dibangun dengan menggebu- gebu, kita perlu mengingatkan bangsa ini agar selalu konsistenkalaumembangunsesuatu. Membangun industri automotif, juga pesawat dan alat-alat tempur, membutuhkan strategi jangka panjang yangg harus konsisten dari masa ke masa. 
Bukankah hancurnya IPTN juga karena kita tidak konsisten dan mudah menghancurkannya dalam semalam? Kita cuma berharap mobilmobil itu dibangun dengan semangat industri yang serius, bukan sekadar jadi laboratorium murid SMK yang lagi praktikum.Sebab membangun industri bukan membangun pabrik. Skalanya harus diperhitungkan masak-masak. 
Biasanya ketika lagi asyik, negeri penghasil tambang energi terbesar di dunia seperti Indonesia suka membuat sesuatu at all cost. Setahu saya automotif itu butuh pasar dan skala usaha yang besar.Maka produksinya tak bisa encrut-encrut, seekorseekor seperti memberanakkan kambing.Automotif perlu skala ekonomis yang besar.Sementara di televisi, Kepala SMK bilang sudah ada pesanan yang lumayan. Berapa Pak Guru? Sepuluh unit. Ini tentu jauh panggang dari api. 
Membangun industri membutuhkan jaringan yang lebih besar dari sekadar membuat gedung lab dan praktik membuat mobil. Esemka perlu mengangkat jaringan dealer, lengkap dengan pasokan spare partsdan bengkel yang luas.Belum lagi lab riset yang membutuhkan alat-alat uji dan teknologi berbasiskan pengetahuan. 
Entahlah kalau ini juga merupakan identitas lokal kita: bisa bikin mobil dengan cara baru,tak perlu skala ekonomis, apalagi cara berpikir industri. Omzet satu dua miliar sudah bisa hidup.Siapa tahu itu maksudnya. Artinya mereka benarbenar pembaharu industri alias the super-cracker dalam The Cracking Zone. Siapa tahu itu maksudnya begitu …
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia