home

Saturday, December 31, 2011

BRI, Dari Desa ke Kota

KOMPAS.com — Perubahan sudah banyak terjadi di BRI. Bank yang satu ini tak lagi dikenal hanya beroperasi di desa. Kini, warga tak jauh dari rumah ataupun pusat bisnis di kota mudah menemukan BRI. Semua ini dilakukan tanpa melupakan bisnis asalnya, yaitu kredit mikro dan desa. Untuk memahami perubahan yang dilakukan BRI selama ini, ”Kompas” mewawancarai Direktur Utama BRI Sofyan Basir di kantor di BRI Tower I, Jakarta.

Jika mendatangi kantor BRI sekarang, Anda akan menemukan pelayanan yang jauh berbeda. Semuanya karena transformasi yang terjadi di BRI.

BRI telah berubah jauh. Apa yang dilakukan selama ini?


Kami menyadari lambat laun produk-produk bank-bank sama, fiturnya juga sudah hampir sama. Untuk itu, pada awal kami dipercaya memimpin BRI pada 2005, kami melihat bagaimana mencoba memanfaatkan dan mengelola BRI yang memiliki 4.200 kantor. Bagaimana kami bisa memanfaatkan kantor-kantor yang sudah ada di daerah.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, ternyata ada bank-bank yang merambah ke bisnis kami, yaitu kredit mikro. Ada empat bank yang intensif masuk ke bisnis itu. Wah, kami yang sudah di desa ternyata masih dikejar-kejar juga oleh bank-bank lain. Saat itu, jumlah karyawan sudah 40.000. Ini merupakan potensi yang luar biasa.

Saya memulai dengan transformasi budaya. Saya menekankan kita ini bukan lembaga yang mengelola pegawai negeri sipil, tetapi bank. Kita berbicara industri. Oleh karena industri, kita punya target. Kita punya cita-cita besar ke depan. Angka-angkanya harus jelas. Kalau kita berbicara industri, maka kita imbangi tuntutan industri.

Bisa dijelaskan lebih lanjut soal transformasi itu?

Transformasi budaya kerja diikuti dengan transformasi bisnis. Hal itu mulai dari sumber daya manusia, teknologi informasi, sarana kerja, hingga produk-produk kami. Untuk itu, lalu disusun perencanaan yang matang, terinci, dan diikuti langkah strategis.

Tahun 2005-2006, transformasi itu dimulai. Bank adalah teknologi. Bicara bank, bicara teknologi karena nasabah butuh layanan yang prima. Layanan itu adalah kemudahan akses, kemudahan mendapat informasi, dan mendapat kenyamanan. Pertama, bagaimana meng-online-kan seluruh jaringan BRI dari Sabang sampai Merauke. Kami kemudian berpikir sumber dana kehidupan bank adalah dari pribadi-pribadi, maka sumber dananya yang utama itu ada di perkotaan.

Selama ini, BRI menguasai pedesaan. Kalau teknologi sudah dipenuhi, maka tidak salah kalau kami bisa masuk ke orang kota. Makanya, kami memperluas jangkauan dari desa sampai ke kota. Dulu di Jabodetabek hanya ada 60 kantor, sekarang telah menjadi 700 kantor. Bisa dibayangkan? Dulu di kawasan Rasuna Said, Jakarta, tak akan ketemu BRI, tetapi sekarang ada.

Awalnya kami menyerang 14 kota besar, kini kami menyerang 50 kota besar. Bersamaan dengan itu, kami imbangi dengan teknologi. Kami buka BRI di perkantoran, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lain. Kami bangun juga fitur-fitur yang sekarang telah mencapai 570 fitur produk. Kami imbangi dengan pertumbuhan sumber daya manusia untuk dukung kantor dan untuk dukung bisnis kredit mikro kami. Ada tambahan 45.000 orang dalam lima tahun. Sebagian untuk mendukung kredit usaha rakyat (KUR). KUR pada 2008 awal telah mencapai lima juta debitor KUR dengan kredit Rp 35 triliun atau Rp 7 juta per orang.

Kiat selanjutnya?


Transformasi dari sisi pemasaran. Saat itu kami mempunyai program BRI Untung Beliung yang banyak diributkan orang. Dari program ini, kami mendapat lima juta tambahan penabung. Kemudian lembaga bisnis dikembangkan melalui pembentukan dua direktorat baru, yaitu direktorat pelayanan dan jaringan serta direktorat hubungan lembaga dan BUMN. Sekarang kami komplet, mempunyai nasabah orang desa dan kota.

Perubahan kultur di BRI sangat menarik. Apa yang terjadi?

Kami selalu adakan pendekatan bahwa kami bukan pegawai negeri sipil. Bank lain beri pelayanan, kami didik terus karyawan juga untuk melayani. Kami adakan lomba pelayanan Service Quality Vaganza setiap tahun. Dari survei MRI secara umum, pelayanan kami naik peringkat dari ke-19 menjadi nomor 7. Untuk yang satu ini, kami disurvei segalanya, mulai dari toilet, pelayanan petugas satpam, sampai pelayanan parkir.

Untuk pelayanan ATM, kami naik dari nomor 6 menjadi nomor 2. Kehadiran karyawan baru menjadi agen perubahan kultur. Kami tanamkan sejak dini kepada karyawan baru, kita kerjakan pelayanan prima sampai ke staf. Ada tujuh pendidikan yang harus dijalani.

Dari transformasi itu, mana yang menjadi inti?

Sumber daya manusia dan teknologi informasi. Kami mendidik sumber daya manusia. Hari ini ada 4.200 peserta program pendidikan staf setiap hari untuk jadi bankir. Dari jumlah itu yang sudah jadi 3.200 orang. Kami juga mengirim 20 orang setahun untuk bersekolah di luar negeri. Kami mengunjungi daerah terpencil dan kami ingin tahu harapan mereka. Kami beri pelayanan, kami jadi pendengar yang baik. Kalau sudah saya dengarkan, mereka saya minta melayani nasabah. Saya menekankan perusahaan ini merupakan masa depan mereka dan keluarga mereka. Kalau bekerja dengan benar, maka lembaga ini akan benar.

Sekarang apa mimpi BRI ke depan?

Semua sudah di dalam jalur. Akan tetapi, kami akan menambah 14.000 ATM, 60.000 penangkap data elektronik (EDC), 8.000 kantor hingga akhir 2012. Ini kerja besar dengan angka-angka besar.

Mimpi menjadi semacam sekolah bagi bankir Indonesia?

Hal itu sudah terjadi sejak lama. Kami menyekolahkan karyawan menjadi bankir, tetapi diambil bank lain. Kami menyadari hal itu, mereka berpikiran mending membajak dari BRI dibanding mendidik bankir sendiri karena ongkosnya sangat mahal.

Pebisnis Perlu Nyali

Oleh Abun Sanda
Ada hal yang menarik disimak dari bisnis Trihatma Kusuma Haliman. Pemimpin Grup Agung Podomoro ini tidak sekadar bergerak agresif mendirikan mal, pusat perkantoran, sentra hunian apartemen dan perumahan, tetapi ada sesuatu yang khas dari langgam Trihatma dalam berbisnis. 
Kekhasan itu tidak sekadar ditunjukkan dengan produk yang bermutu dan selalu laris manis di pasaran, tetapi karena grup usaha ini memiliki hal tipikal yang membuatnya masyhur, yakni nyali, elan, dan moral.
Para penyuka mal tentu masih ingat bahwa pada era 1990-an sampai era 2000-an Plaza Senayan menjadi salah satu plaza atau mal terbaik di Indonesia. Di dekat Plaza Senayan, dalam hitungan ”sepelemparan batu”, tegak tiga pusat belanja yang bukan kelas ”kalengan”. Namun, Plaza Senayan sulit disaingi. Ia tetap berada di panggung elite Indonesia. Pengunjung rela antre berbelanja, makan, ngupi-ngupi, dan bahkan cukur rambut.
Dengan latar belakang seperti ini, mengapa Anda membangun Senayan City? Tidak takut tergulung?
Saya justru melihat peluang sangat terbuka di situ. Bayangkan, di Plaza Senayan, pengusaha yang hendak membuka gerai baru mesti antre panjang, entah kapan mendapat giliran masuk plaza tersebut. Sejumlah penghasil produk premium membuka gerai di plaza papan atas tidak sekadar karena ingin komoditasnya laku, tetapi juga untuk menunjukkan mereka berada di panggung prestisius.
Kami tidak giris dengan kondisi itu. Kami membangun Senayan City dan dibuka Juni 2006. Letaknya persis di seberang Plaza Senayan. Luas area malnya tidak tanggung-tanggung, 78.000 meter persegi (total area bangunan 238.000 meter persegi).
Banyak kalangan mempertanyakan ”hitungan bisnis” Anda. Magnet apa yang hendak digunakan untuk menarik pengunjung? Areal mal yang luas tidak mudah diisi para pebisnis.
(Tertawa). Saya selalu berpikir optimistis. Menurut survei sederhana yang dilakukan tim kami, ada fakta bahwa warga Jabodetabek dan warga Indonesia di provinsi lain yang datang ke Jakarta masih membutuhkan mal bermutu. Saya merasa terajak masuk ke panggung kompetisi bisnis mal. Saya percaya kepada rahmat Tuhan, pun percaya bahwa dengan strategi bisnis yang baik, langkas bekerja, kerja tim yang harmonis, keinginan meraih mal yang baik akan terwujud.
Ada yang Anda tekankan?
Saya menggarisbawahi aspek nyali. Bagi saya, konsep bisa bagus, tim bisa kuat, jaringan bisa luas, tetapi tanpa nyali, tanpa elan, semua aspek besar itu tidak akan berarti apa-apa.
Jangan pernah abaikan aspek nyali. Senayan City kini bersinar terang dan ramai. Antrean untuk membuka gerai usaha cukup panjang. Dalam pertemuan properti di Singapura dan Shanghai baru-baru ini, Senayan City menjadi salah satu mal yang ramai dipercakapkan karena dipandang memberi nuansa baru.
Senayan City menjadi tonggak baru bagi Agung Podomoro Group?
Bisa juga disebut begitu, sebab begitu Senayan City sukses, kami membangun Mall of Indonesia (MOI). Mal ini dibangun juga dengan nyali, sebab di sekitarnya terdapat setidaknya dua mal besar, yakni Mal Kelapa Gading dan Mal Artha Gading. Yang kemudian terjadi, MOI juga meraih pangsa besar dalam kancah mal di area regional. Dengan MOI, kami ingin membawa keriangan dalam mal. Kami pun seolah ingin memberi tahu publik bahwa di samping panggung belanja, makan, dan bisnis, ada sisi lain dari mal, yakni arena bermain untuk anak-anak, remaja, dan bahkan kalangan dewasa. Ajakan inilah yang membuat MOI ramai.
Setelah MOI?
Kami tidak bisa berhenti, tidak ingin momen emas itu lesap. Kami membangun mal baru, Central Park. Pembangunan mal ini menimbulkan tanda tanya sebab dibangun di antara dua mal yang ramai, yakni Mal Taman Anggrek dan Mal Ciputra.
Seperti dugaan kami, Central Park yang dibuka pada tanggal 9 bulan 9 tahun 2009 ini segera merebut hati publik Indonesia. Publik suka dengan mal yang tegak di areal seluas 125.000 meter persegi itu. Mereka merasa tersihir oleh area hijau seluas 1,5 hektar. Dan hal yang menggetarkan, Central Park menjadi primadona properti Asia dalam bersaing dengan mal-mal yang ada di belahan dunia lain, di Shanghai beberapa bulan lalu.
Saya tidak ngecap lho. Tetapi lihatlah sendiri, taman Central Park menggenggam pesona. Ratusan pohon elok hidup berdampingan dengan air mancur spektakuler. Adapun enam kolam ikan koi bagai telaga kecil yang siap menyedot keresahan manusia. Di beberapa titik, terdapat arena bermain yang menyenangkan. Ada pula belasan barisan tempat duduk panjang yang memungkinkan warga Jakarta belajar atau bekerja dengan laptop atau iPad-nya di situ. Kalau letih belajar, sesekali pandanglah pohon stopedia dan trembesi yang sungguh rindang. Damai terasa menyelusup ke pedalaman sukma.
Anda terkesan gencar membangun apartemen. Mengapa?
Benar. Kami sudah membangun 220 menara apartemen, 8 mal, 36 gedung perkantoran. Mimpi kami adalah membangun ”kota dalam kota” dalam skala besar. Maka kami membangun sejumlah superblok yang spektakuler. Superblok di Central Park misalnya, yang menggunakan nama Podomoro City. Di ”kota” dengan luas 9,7 hektar itu terdapat pusat bisnis menengah sampai raksasa. Ada mal, sentra perkantoran. apartemen. Ada pula sekolah, pusat olahraga, kesehatan, rehabilitasi medik, pusat belanja, sentra restoran, rumah makan sederhana, kantor-kantor pemerintah.
Dengan segenap fasilitas itu, kami ingin warga mengurangi jumlah bepergian, memotong perjalanan. Untuk merengkuh semua lokasi, cukup dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Formula ”kota dalam kota” saya yakini akan sangat mengatasi kemacetan. Pun hemat energi, irit bahan bakar, tidak menambah polusi dan tidak menimbun stres. Saya lega sudah membangun setidaknya tujuh ”kota dalam kota”. Dalam satu kota, bisa terdapat hunian puluhan ribu warga, tergantung besaran ”kota dalam kota tersebut”.
Dari formula ini lalu muncul pertanyaan, apakah dengan demikian warga yang bekerja di Jakarta sebaiknya tinggal di Jakarta. Warga yang bekerja di Bogor sebaiknya tinggal di Bogor?
Untuk berdomisili di Bogor, tetapi lebih suka bekerja di Jakarta adalah hak warga. Begitu pula berdomisili di Depok, Bekasi, bahkan Cianjur, tetapi memilih bekerja di Jakarta juga menjadi hak setiap warga. Bagi saya, megasuperblok atau ”kota dalam kota” itu hanya sebuah tawaran atau sebutlah gugahan untuk hidup dan bekerja lebih efisien. Konsep itu bisa juga berupa ajakan, sebab alangkah indahnya kalau waktu tiga sampai empat jam yang biasa dihabiskan untuk perjalanan ke kantor atau pulang kantor digunakan sebaik-baiknya untuk bekerja, berolahraga, atau bahkan mendengar musik atau mendengar kicau burung lebih lama.
Bicara tentang Anda, kapan mulai meniti karier di Agung Podomoro?
Ketika pulang dari sekolah arsitektur di Kaiserslautern, Jerman, 1973, saya langsung terjun ke lapangan. Saya ikut menyekop campuran semen, menyusun batu, memasang atap, makan bersama dengan para tukang.
Anda menyukai detail pekerjaan. Mengapa?
Iya, saya menganggap itu aspek yang amat penting. Kita kan terbiasa bicara besar, tetapi lupa pada detail-detailnya. Maka, setiap hari saya menyempatkan diri datang langsung ke lapangan dan menyapa para staf. Saya tidak mau hanya menyuruh, tetapi menanyakan kebutuhan mereka. Mesti ada upaya lebih menyejahterakan karyawan. Dialog dengan karyawan juga asyik. Bisa dapat banyak masukan.
Anda menyukai percakapan yang menyentuh masalah moral dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Ada peristiwa yang berkesan?
Sebetulnya tidak juga. Saya acap bicara moral semata karena ingin menekankan moral tinggi dan etik dalam bekerja. Saya pun mengajak para staf untuk menghargai pertemanan. Mau mendengar teman berkeluh-kesah, bersimpati kepada kaum papa. Kalau perlu bangun rumah untuk mereka.
Saya kerap menggamit staf untuk melihat rumah-rumah penduduk seluas dua kali dua meter atau kawasan marjinal di tepi sungai. Kita harus membantu mereka agar suatu saat mereka memiliki rumah layak huni. Bukankah kita sama dengan mereka, yang bisa sakit, menangis, terbahak-bahak.
Ada yang hendak Anda sampaikan?
Oh, ya, saya hendak menekankan pentingnya harmoni keluarga. Bagi saya, kalau staf hidup harmonis, pekerjaannya akan keren. Sebaliknya kalau staf suka ribut di dalam keluarga, pekerjaannya pasti tidak beres. Dalam soal begini, saya tidak main-main. Saya bisa memberhentikan seorang eksekutif tingkat tinggi yang ketahuan menelantarkan istri.
Marilah kita jujur, kalau kita pening, kepada siapa kita ajak bicara. Tentu kepada orang terdekat kita, yakni istri dan anak-anak. Kita stres dengan pekerjaan, ada istri yang datang menyapa kita dengan senyumannya yang menyejukkan. Di bola mata istri, kita melihat telaga yang melegakan, di situlah kita berlabuh.

Belajar dari Ciputra

JAKARTA, KOMPAS.com -- Mempertahankan bisnis hingga 30 tahun bukanlah perkara mudah. Apalagi jika bisnis tersebut terus menunjukkan kinerja yang gemilang. Itulah prestasi yang diraih Ciputra Group. Kesuksesan tersebut tidak hanya dirasakan internal perusahaan, tetapi juga dinikmati masyarakat, yang merasa terpenuhi kebutuhan papannya dengan nyaman dan aman.
Ciputra Group yang dirintis tahun 1981 kini telah berkembang menjadi pengembang besar. Setidaknya kelompok bisnis ini telah membangun 30 kota di Indonesia dan luar negeri. Sampai dengan September 2011, Ciputra sudah mencatat penjualan hingga Rp 3,14 triliun. Tahun depan Ciputra mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 2 triliun.
"Saat ini pertumbuhan properti yang paling agresif justru terjadi di luar Jawa. Beberapa daerah yang prospeknya bagus adalah Ambon, Medan, Jambi, Pontianak, dan Banjarmasin," kata Presiden Direktur Ciputra Group, Chandra Ciputra.
Kesuksesan itu tentunya tidak terlepas dari brand Ciputra, sang pendiri, yang begitu kuat. Ciputra selalu identik dengan perumahan hijau, bersih, dan berkualitas. Ciputra (80) adalah sosok pengusaha ulung, tangguh dan alur bisnisnya sepeti air mengalir. Ciputra, yang biasa dipanggil akrab Pak Ci memiliki pengalaman hidup pahit sejak kecil. Namun pengalaman itu justru menjadi cambuk dalam mengawal bisnisnya.
Tak heran saat krisis menerjang tahun 1997-1998, Ciputra sanggup bertahan dan omsetnya terus melesat. Brand Ciputra dirintis sejak tahun 1961, ketika Pak Ci memulainya dengan Group Jaya bersama pemerintah daerah DKI Jakarta, dilanjutkan dengan Group Metropolitan di tahun 1971. Pak Ci memutuskan untuk menjadikan namanya sebagai brand pada tahun 1981 dengan proyek pertama CitraGarden City di Kalideres Jakarta Barat. Beberapa perumahan yang dibangun bahkan menjadi ikon kota bersangkutan karena saking kuatnya brand Ciputra. Misalnya saja Citra Indah yang menjadi ikon Kota Jonggol.
Berkiprah selama 30 tahun di bidang properti, Ciputra Group sudah banyak mengambil peran. Tiap tahun ada ribuan rumah yang dibangun. Artinya Ciputra telah berdedikasi dalam penyediaan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Rumah adalah kebutuhan dasar manusia, jadi semua keluarga pasti menginginkannya. Tiap tahun kebutuhan rumah terus naik seiring dengan pertumbuhan keluarga dan arus urbanisasi.
Masalahnya pasokan rumah tak memadai. Hingga tahun 2010, kekurangan rumah sudah mencapai 8,2 juta unit atau naik 64 persen dibandingkan dengan tahun 2004. Kekurangan rumah terus bertambah karena setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan yang tidak diimbangi oleh kecukupan pasokan. Jika dirata-rata, laju kekurangan rumah (backlog) di Indonesia mencapai 400.000 unit per tahun. Karenanya kontribusi Ciputra dalam penyediaan rumah patut mendapat apresiasi.
Bisnis Ciputra tidak berhenti pada perumahan. Ciputra terus melakukan diversifikasi produk. Hasilnya adalah proyek pembangunan rumah sakit, gedung perkantoran, universitas, dan mal. Inovasi Ciputra Group juga telah menggiring kelompok bisnis tersebut untuk berkiprah di pasar uang. Ciputra memiliki tiga perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Ketiganya adalah PT Ciputra Development Tbk dengan kode CTRA, PT Ciputra property Tbk (CTRP), dan PT Ciputra Surya Tbk (CTRS).
Pembangunan properti Ciputra tak pernah stagnan, karena mereka tidak pernah berhenti untuk melakukan pengembangan, misalnya saja investasi keuntungan dalam bisnis 30 persen diambil sebagai deviden sedangkan 70 persen dipergunakan unuk reinvestasi kembali dalam membangun perumahan. Dengan demikian, bisnis properti selalu berkembang terus menerus.
Dalam membangun properti, Ciputra tidak asal-asalan. Pengembang ini selalu menerapkan prinsip bangunan hijau (green property) di setiap proyeknya. Konsep green property diarahkan pada upaya penghematan energi, sehingga biaya perawatan bangunan serta emisi buang karbon berkurang.  
Konsep tersebut direalisasikan dengan penggunaan double glass pada gedung bertingkat untuk mengurangi efek negatif panas matahari. Penggunaan double glass diperkirakan bisa menekan energi hingga 35 persen. Tidak hanya itu, Ciputra Group juga menerapkan pengelolaan air buangan untuk dimanfaatkan kembali.
Ciputra Group juga mengadopsi fitur bangunan hijau pada sejumlah rumah tapak dengan mendesain rumah banyak jendela. Realisasinya lainnya adalah pemanfaatan energi surya sebagai sumber energi lampu jalan dan taman. Salah satu proyek Ciputra yang mendapatkan setifikasi bangunan hijau adalah Ciputra World Jakarta. Penerapan konsep green property sebenarnya menciptakan keunggulan baru atau diferensiasi bagi proyek-proyek Ciputra. Green property menjadi kekhasan produk Ciputra dalam menuai sukses.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia, Setyo Maharso komitmen green propertybelum banyak diikuti para pengembang karena belum tersedianya insentif. Karenanya ia mengapresiasi Ciputra yang berkomitmen tinggi untuk menjalankan konsep green property.
Apa sebenarnya rahasia kesuksesan bisnis Ciputra Group. Kepada Kompas, Pak Ci sempat menyebut tiga hal rahasia tersebut yakni wisdom, integrity, innovation. "Kalau mau jadi yang terdepan maka harus menjadi hamba yang mau melayani dan memberi. Jangan lupa juga dengan tanggung jawab sosial," Pak Ci.

Sunday, December 25, 2011

Hanya Ada Satu Bos Yaitu Konsumen
Penulis : Tim AndrieWongso
Kamis, 22-Desember-2011




Jangan melihat Wal-Mart sekarang yang pendapatan per tahunnya mencapai US$ 14 miliar dari omset US$ 408 miliar setiap tahunnya. Pada awalnya, Sam Walton, pendiri Wal-Mart, jatuh bangun mendirikan gerai ritel ini.Sam Walton sudah sejak muda terlibat dalam industri ritel sampai-sampai ia jatuh cinta pada industri ini. Pada usia 22 tahun ia sudah bekerja di sebuah gerai ritel milik jaringan JC Penney di Iowa. Namun ia tak mau selamanya ingin jadi karyawan. Setelah wajib militer, pada tahun 1945 Walton membeli sebuah gerai ritel kecil yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga dari sebuah jaringan franchise Butler Brother. Tokonya saat itu bernama Ben Franklin Store. Modal yang digunakannya dari tabungan US$ 5.000 dan pinjaman dari mertuanya sebesar US$ 20.000. Pada saat dibeli tingkat penjualan gerai  Ben Franklin miliknya sekitar US$ 72.000 setahun.
Walton merasa tingkat penjualan itu masih bisa ditingkatkan. Maka ia pun terus memperbaiki tokonya. Ia tak hanya memperbaiki penampilan dan penataan ruang tetapi juga perbaikan sistem pelayanannya. Misalnya, melihat toko lain tutup lebih cepat, Walton malah membuka tokonya hingga larut makan. Bahkan Walton berani memperkenalkan sistem diskon segala.
Perbaikan terus-menerus tokonya membuahkan hasil. Pada tahun 1950 omset tokonya sudah berkembang menjadi US$ 250.000 setahun. Atau berkembang 3,5 kali lipat dalam waktu lima tahun.
Sayangnya perkembangan bisnisnya tersendat. Pemilik tempat tak menghendaki tempatnya diperpanjang yang justru akan digunakan anaknya untuk usaha ritel juga. Walton malah menjual isi tokonya ke pemilik tempat itu. Ia sendiri mendirikan toko baru di tempat lain dan tak khawatir bisnisnya berantakan karena ia sudah menguasai sistemnya.
Konsistensi Walton ke bisnis ritel terus dipertahankannya. Meski nama ritelnya berganti-ganti namun ia terus memperbaiki sistemnya. Sampai akhirnya ia membuka gerai ritel baru bernama Wal-Mart Discount City pada tahun 1962 yang menawarkan diskon. Sejak itulah kerajaan Wal-Mart yang dibangun bersama keluarganya dimulai. Kini Wal-Mart berkembang menjadi lebih dari 8000 gerai di seluruh dunia dan menempatkannya sebagai perusahaan ritel terbesar di dunia.
Semua perkembangan ini terjadi karena pendirinya, Sam Walton, tak bosan memperbaiki segalanya alias perbaikan berkelanjutan untuk memuaskan konsumennya yang terus berkembang. Untuk urusan kepuasan konsumen ini Sam Walton mengatakan, "Hanya ada satu bos (di perusahaan ini) yaitu konsumen. Ia bisa memecat semuanya mulai dari chairman hingga pegawai di bawahnya."

TanggungJawab

Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself (Leo Tolstoy)
Dengan perasaan putus asa, sepasang suami-istri pergi ke seorang ahli jiwa untuk berkonsultasi tentang perilaku anaknya. Mereka sudah tidak tahu apa lagi langkah-langkah yang harus mereka lakukan terhadap anaknya. Sejak beberapa waktu lalu, anak itu suka sekali naik kuda-kudaan milik anak tetangganya dan tidak mau turun, padahal ia sendiri memiliki tiga kuda-kudaan di rumahnya.
Selama ini, semua usaha yang dilakukan untuk memaksa anak tersebut turun hanya membuatnya berteriak dan menjerit. Mau tidak mau, anak ini terpaksa dinaikkan lagi ke kuda-kudaan itu.
Sang ahli jiwa kemudian mendatangi anak tersebut sambil mengelus-elus rambutnya, ia menunduk lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Segera anak itu turun dari kuda-kudaan dan dengan manis mengikuti kedua orang tuanya pulang.
"Bagaimana caramu membujuk anak kami turun? Apa yang engkau bisikkan ke telinganya?" tanya orang tua sang anak kepada ahli jiwa. "Sederhana saja, saya hanya berkata lembut kepadanya, kalau kamu tidak turun dari kuda-kudaan sekarang juga, kamu akan saya pukuli sampai kamu tidak dapat duduk selama satu minggu. Orang tuamu membayar saya untuk itu dan senang hati saya akan melakukannya," jawab ahli jiwa.
Cerita yang saya adaptasi dari buku Doa Sang Katak2 karya Anthony de Mello SJ ini seakan-akan mengingatkan kita kembali bahwa sering kali perubahaan baru benar-benar terjadi setelah kita mendapatkan tekanan dari luar. Saya kerap mengamati ada mahasiswa yang baru benar-benar serius dalam belajar manakala ia terancam drop out. Ada karyawan yang baru berubah perilaku dan kinerjanya setelah mendapatkan surat peringatan. Di tataran yang lebih luas, sebuah perusahaan biasanya akan mengalami perubahan secara signifikan manakala mereka sadar telah tertinggal jauh dibandingkan kompetitor.
Meski demikian, ada juga perubahan yang benar-benar datang dari dalam hati (internal), bukan karena faktor eksternal. Seorang sahabat yang kini menjabat sebagai eksekutif di sebuah perusahaan besar di Jakarta pernah bercerita kepada saya bahwa dia berasal dari keluarga yang sangat miskin. "Orangtua saya hanya buruh tani yang menggarap sawah orang," katanya.
Dengan penuh perjuangan ia akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan jejak S1 lalu diterima bekerja di perusahaan tempatnya berkarir sekarang. Hanya dalam waktu beberapa tahun, ia dipercaya memimpin sebuah cabang yang bergengsi. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat kerja kerasnya. Berbeda dengan karyawan lain yang hitung-hitungan ketika bekerja, sahabat saya ini rela bekerja ekstra atas inisiatif sendiri dan tanpa dibayar.
Ia senantiasa memelihara hubungan dengan klien dan mitra bisnisnya. Di luar jam kantor, ia tidak segan-segan menemani atau membantu kliennya sekali pun hal itu tidak ada hubungan langsung dengan transaksi bisnis mereka. Beberapa waktu kemudian, ia mendapatkan beasiswa S2 dari perusahaannya. Studi lanjut ini adalah bagian dari promosi jabatannya. Luar biasa!
Sebagai sahabatnya, ada satu kualitas darinya yang sangat saya kagumi yakni tanggung jawab. Ya, ia mengambil tanggung jawab penuh atas setiap kepercayaan yang diberikan kepadanya bahkan ia mengambil tanggung jawab penuh atas hidup serta masa depannya. Bandingkan dengan begitu banyak orang yang hanya bisa menyalahkan situasi, kondisi, nasib atau takdir tanpa upaya serius untuk merubah dirinya.
 
Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Michael Kodra, "Success on any major scale requires you to accept responsibility... In the final analysis, the one quality that all successful people is the ability to take an responsibility." Ya, Sukses dalam skala besar menuntut Anda untuk menerima tanggung jawab.. Setelah dianalisa, ternyata kualitas yang dimiliki semua orang sukses adalah kemampuan untuk memikul tanggung jawab. Senada dengan itu, pakar periklanan nasional Ken Sudarto (alm) dalam sebuah wawancara di televisi mengatakan bahwa kata kunci terpenting dalam hidup adalah "tanggung jawab".
____________________________________

- Tulisan ini bersambung. Simak bagian kedua dari tulisan ini (poin-poin penting untuk berubah menjadi lebih baik), esok hari.
- Penulis adalah: Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Kunjungi www.pauluswinarto.com

Saturday, December 24, 2011

Mitos Tentang Krisis - Sindo 22 Desember 2011



Beberapa tahun yang lalu, saat krisis moneter tengah melanda Indonesia, Carol Dweck mengumpulkan sekitar 400 orang remaja dan memberi mereka puzzle sederhana. Mereka diberikan dua kalimat yang masing-masing terdiri dari enam kata.

Yang satu bunyinya begini: “you must be smart at this.” (“Kalian harus cerdas pada soal ini”) dan satunya lagi: “you must have have worked really hard.” (“Kalian harus bekerja sangat keras”). Kalimat-kalimat itu diberikan untuk mengetahui perbedaan sikap dari apa yang masing-masing orang percayai atau miliki.

Setelah diberikan dua jenis puzzle tadi, diketahui bagian terbesar remaja memilih kalimat yang pertama. Anak-anak kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat mengedepankan pentingnya intelligence (kecerdasan) sehingga kata “smart” sangat penting bagi mereka. Sedangkan yang kedua terdiri dari anak-anak yang percaya pada kata “hard work”. Mereka ini umumnya melakukan sesuatu bukan untuk sukses, kata Dweck. Melainkan karena ingin mengeksplorasi tantangan-tantangan yang menarik.  Sukses adalah soal belakangan, bukan menjadi permulaan.

Kepada mereka semua diberikan tawaran untuk memilih satu jenis soal dari dua pilihan. Pilihan pertama adalah soal-soal yang mudah, dan yang kedua adalah soal-soal yang sulit. Anda tahu apa yang terjadi?

Menyadari Krisis: Tidur!
Anak-anak yang mengklaim dirinya “smart” dan senang menyebut dirinya “smart worker” atau mengedepankan intelligence ternyata tidak mau mengambil soal-soal yang sulit. Mereka ingin sukses, dan bagi mereka orang smart harus lulus, dan memilih yang mudah. Dua pertiga responden smart tersebut dicatat psikolog Dweck memilih soal yang mudah.

Kata Dweck, “mereka takut kehilangan label smart yang melekat pada diri mereka dengan menghindari tantangan. Rupanya mendapat label smart dan hebat mengundang beban psikologis yang berat, dan ini bisa membuat manusia menghindar dari tantangan-tantangan alam yang sulit.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak terbebani oleh label “smart” berjalan lebih ringan. 90% diantara mereka justru memilih soal yang sulit. Bodohkah mereka? “Bukan!”, kata Dweck. Melainkan mereka tidak tertarik untuk dianggap sukses atau ingin cepat-cepat menunjukkan hasil, apa lagi dinilai “kaya”. Kata sukses, kaya, dan smart, kalah enak. Tidak elok bila dibandingkan dengan kata “upaya”, “kerja keras”, dan “tantangan”.

Mereka yang merasa cerdas umumnya takut gagal, takut mencoba sesuatu yang baru, dan mudah cemas begitu keadaan berubah atau terancam oleh kata “krisis”. Sebaliknya, mereka yang tak merasa cerdas dan selalu berorientasi pada kerja keras justru menikmati suasana krisis dan tidak kehilangan kepercayaan diri.

Pembaca yang baik, hari-hari ini kata-kata krisis kembali berbunyi keras di antara para pelaku usaha dan CEO menyusul merambahnya krisis keuangan ke beberapa negara Eropa. Dari studi Dweck tadi jelaslah kita selalu akan menemukan 2 jenis CEO. Yang satu takut dan mudah kehilangan percaya diri, sedang yang satu lagi EGP (“Emangnya Gue Pikirin”) dan cenderung kata orang Jawa Timur sebagai “Agak Bonek”.

    Anda mau tahu hasil studi lanjutan yang dilakukan oleh Dweck?
    Kepada kedua kelompok respondennya itu Dweck lalu memberi soal yang sama dengan yang dikerjakan kelompok pertama tadi, yaitu soal yang mudah. Kelompok yang merasa cerdas tadi ternyata mendapatkan skor 20% lebih rendah dari pekerjaannya semula. Dalam bahasa manajemen, saya menyimpulkan, produktivitas mereka justru merosot setelah badai berlalu, sekalipun soalnya tidak lebih sulit. Di sisi lain, kaum pekerja keras, justru mengalami kenaikan kinerja sebesar 30%. Kesulitan dan kegagalan telah membuat mata mereka terbuka dan hormon mereka penuh.

Anak-anak yang mendewa-dewakan kecerdasan dan merasa pintar menghambat motivasi mereka untuk maju dan meracuni kinarja di masa depan.”

Itulah sebabnya di masa-masa seperti ini para CEO perlu bertransformasi diri dari merasa cerdas menjadi bekerja keras. Attitude is everything. Krisis itu bukanlah yang terjadi secara merata, susah tidak akan dialami sama oleh setiap orang.  Sama halnya dengan kebalikannya saat anda membaca berita-berita bagus seperti kenaikan rating invesment grade Indonesia. Mereka yang beruntung bukanlah mereka yang merasa smart, melainkan mereka yang mau mengeksplorasi berbag`i kesempatan baru di masa depan.

Jadi saya sependapat dengan almarhum Peter Drucker yang mengatakan cara terbaik mengetahui tentang keadaan masa depan adalah dengan menjelejahi masa depan itu sendiri dengan penuh kesungguhan.  Bukankah soal hasil sudah ada yang menentukan?  Tetapi apa dan bagaimana anda mengerjakannya membuat hasil itu jadi berbeda.

Wednesday, December 21, 2011

Kisah Bijak dari Tiongkok - 6 Pertanyaan

Suatu hari, seorang Guru Zen berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu, beliau mengajukan enam pertanyaan.

Pertama: "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: orang tua, guru, teman, dan kerabat. Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi sebenarnya yang paling dekat dengan kita adalah "napas". Maka, sadari bahwa hidup itu penuh berkah. Jangan sia-siakan napas Anda untuk hidup sekarang juga dengan bersyukur.
Lalu ia meneruskan pertanyaan kedua: "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: negara di seberang lautan, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Katanya, semua jawaban yang diberikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu." Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu. Maka, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang. Jadikan kenangan dan pelajaran baik untuk menjalani hidup saat ini.
Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga: "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab: gunung, bumi, dan matahari. "Semua jawaban itu benar," kata Sang Guru. "Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah mimpi." Mimpi adalah awal dari kenyataan yang akan datang. Dengan mimpi, manusia akan bisa berkembang lebih beradab dan bijaksana.
Pertanyaan keempat adalah: "Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab: baja, besi, dan gajah. "Semua jawaban hampir benar", kata Sang Guru, "tapi yang paling berat adalah tidak berkarya dan tidak memegang amanah."
Pertanyaan yang kelima adalah: "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab: kapas, angin, debu, dan daun-daunan. "Semua itu benar", kata Sang Guru, "tapi yang paling ringan di dunia ini adalah tersenyum". Dengan senyuman saja, hidup Anda akan penuh berkah :)
Lalu pertanyaan keenam (terakhir) adalah: "Apakah yang paling tajam di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak: PEDANG!! "(Hampir) benar", kata Sang Guru, "tetapi yang paling tajam adalah tekad." Dengan TEKAD, Anda telah memenangkan 50% keberhasilan / kesuksesan!
Salam sukses, luar biasa!!
andriewongso.com
Jabatan Untuk Mengimpresi (Atau Untuk Menggerakkan?) - Jawapos 19 Desember 2011
“Anda harus memilih: Nothing to loose atau cinta jabatan.” Kalimat itu mengalir dari mulut mantan CEO  PT. Pertamina yang all out melakukan pembaruan di eranya. Karena prinsip nothing to loose itulah ia menggunakan jabatannya untuk menggerakkan perubahan.

Saya kira yang dilakukan Ari Sumarno, secara kreatif juga tengah dijalankan oleh Menteri Dahlan Iskan. Kedua CEO ini sama-sama tidak berpikir jabatan untuk mengimpresi. Mereka sama-sama melihat jabatan hanyalah titipan untuk menggerakkan orang. Begitu berani mereka bergerak, memperbaiki yang rusak, membongkar proses dan mencari kebenaran. Dan kalau ada orang lain yang mencongkel jabatan mereka, dengan senang hati dan  tulus mereka rela dan mudah memberikannya.

Dalam pekerjaan “memperbaiki yang rusak” itu, mereka akan berhadapan dengan sejuta kejanggalan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun oleh bawahan-bawahan mereka. Mengapa hal itu dibiarkan? Jawabnya adalah conflict of interest dan takut menghadapi risiko. Yang pertama membuat mereka risih karena diberi kenikmatan oleh pihak lain (publik menyebut mereka telah “dipelihara” orang kuat). Yang kedua membuat masalah dibiarkan berlarut-larut.

Namun keduanya sama-sama dipelihara oleh mereka yang cinta jabatan. Mereka hanya memakai jabatan untuk mengimpresi. Mereka membiarkan perusahaan atau lembaga yang dipimpinnya menjadi bank masalah.

Dua Tahun Yang Impresif

Pemimpin perubahan gerakannya segera tampak sejak hari pertama. Karena menguasai masalah dan masuknya sudah di tengah jalan, mereka langsung bertindak. See and Action! Berbeda dengan buku teks yang mengarahkan Anda memulainya dari selembar kertas dengan membuat rencana, mereka memulainya dari tindakan.

Karena itulah perbaikan yang mereka lakukan lebih menekankan pada aspek operasional. Dalam bahasa strategi inilah yang disebut sebagai Operational Excellence. Namun bagi Prof. Michael Porter, Operrational Excellence bukanlah strategi. Ia tak akan bermuara kemana-mana. Itulah sebabnya para doer dan change maker segera merumuskan strategi jangka panjangnya. Kalau ini sudah terbentuk, setahun-dua tahun kemudian mau-tidak mau perubahan akan menembus ke atas, ke arah orang-orang besar, yang terkait dengan kekuasaan dan hutang-budi kepentingan.

Itulah sebabnya, banyak change maker hanya mampu optimal melakukan perubahan selama dua tahun pertama. Memasuki tahun ke tiga mereka mulai tidak diajak bicara oleh layer-layer di level atas, dilarang bertemu dengan “pemimpin besar” yang dijaga para mafioso. Fadel Mohammad, Ari Sumarno, Antasari Azhar, Alm. Cacuk Sudariyanto (Telkom), dan banyak lagi tokoh perubahan mengalami hal serupa. Setelah itu bisa diduga mereka dicopot dan dari jabatannya. Padahal dulu “pemimpin besar“ memuja mereka, bahkan pemimpin besar yang merestui langkah-langkahnya, menstimulasi agar bekerja keras dan memberi hasil. Akhirnya pemimpin-pemimpin besar yang bodoh hanya memelihara mereka yang memakai jabatan untuk mengimpresi.

Apa sih ciri-ciri impression man atau impression woman seperti itu? Beginilah ciri-cirinya: Mereka berbicara penuh pesona, pekerjaannya hanya diarahkan untuk menyenangkan atasannya dan gemar beriklan, management one-level up (satu tingkat ke atas), Output riil-nya tidak ada, tidak berorientasi pada impact, mengutamakan atasan lebih dari segala-galanya, leadershipnya tidak 360 drajat, sangat menguasai jabatan dan bila melakukan kesalahan selalu ditutup dengan kesalahan-kesalahan lain atau menggunakan kekuatan Public Relations. Kalau belangnya ketahuan, mereka akan mengawal jabatannya begitu  keukeh dengan memakai puluhan lawyer dan jago-jago Public Relations.
Sebagian orang sangat mungkin terkecoh. Kami di Universitas Indonesia dan banyak Wartwan saja bisa terkecoh oleh prestasi pemimpin tertinggi kami di universitas yang seakan-akan luar biasa. Tetapi waktu akan menemukan kebenaran, karena mereka yang cinta jabatan hanya memoles prestasinya dengan kebohongan-kebohongan yang lambat laun sulit ditutupi. Sebaliknya, pemimpin sejati adalah mereka yang nothing to loose dan fokus pada penyelesaian masalah, bukan mempertahankan kekuasaan.

PDCA
Akhirnya saya tutup tulisan ini dengan rumus kemajuan yang sangat dikenal di kalangan insan PT. Astra International. Rumus ini selalu diingat para lulusan Astra, yaitu Plan-Do-Check-Action cycle. Tetapi dari ke empat elemen itu selalu terdapat perbedaan penerapan.
Mereka berkarakter thinker akan menghabiskan waktu pada aspek planning. Sedangkan para doer akan fokus pada action. Namun perlu saya tegaskan, keempat elemen itu harus dijalankan bersamaan. Anda kerjakan, Anda cek hasilnya, masukkan ke dalam rencana, koreksi, lalu tindak lanjuti.
Kalau ini Anda lakukan dengan tulus, Anda tidak perlu melakukan perubahan. Perusahaan otomatis akan tumbuh menjadi besar, adaptif dan sehat. Kalau tidak ada ketulusan, Anda akan terlibat dalam kesulitan yang Anda buat sendiri. Anda akan terperangkap dalam “cinta jabatan” dan “takut kehilangan”. Orang-orang yang tulus akan berani berbuat, berani berkorban, tidak memerlukan dukun sakti atau “petugas pemadam kebakaran” karena Anda tak takut kehilangan. Jabatan boleh hilang, tetapi kehormatan akan menentukan apakah Anda bisa kembali lagi, bounce, atau pecah.

Happy holiday, selamat merayakan Natal bagi umat Nasrani. Selamat Tahun Baru bagi kita semua. Tetaplah tulus dan berani dalam menjalankan amanah.

Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas Indonesia

Tuesday, December 13, 2011

Large_foto-anies2

Berita Terkait

Salah seorang tokoh muda yang banyak menyoroti kondisi kekinian Indonesia adalah Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan.
Bisnis mewawancarai intelektual muda ini untuk mengetahui apa pandangannya tentang republik kita, mafia, dan korupsi. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat Indonesia masa kini?

Republik ini didirikan dengan empat cita-cita yang sering disebut: melindungi, mencerdaskan, menyetahterakan [rakyat], dan ambil bagian dalam kehidupan global. Saya merasa, sudah saatnya kita berhenti menyebut empat hal itu sebagai cita-cita. Mari kita pahami  hal itu sebagai  janji. Janji kita itu melindungi, janji mencerdaskan, janji menyejahterakan.

Kalau kita lihat kita semua sama-sama hari ini, lalu kita tengok ke sejarah kita masing-masing, jejak kemiskinan dan keterbelakangan itu pasti ada. Tidak ada orang di Jakarta ini yang bisa mengatakan saya dari zaman dulunya sudah kaya. Gak ada bisa yang mengatakan begitu.

Kalau Anda tanya kepada para pengusaha itu, ”Di mana Anda 50 tahun lalu?” Pastilah mereka tinggal di desa, di kampung. Iya kan?

Saya termasuk yang tidak setuju dengan orang yang mengatakan Indonesia tidak ada kemajuan, siapa bilang? Republik ini penuh dengan kemajuan. Kita merdeka dengan 5% penduduk yang melek huruf. Oh my God. Bayangkan, 95% orang buta huruf.

Hari ini, tinggal 8% orang yang buta huruf. Bayangkan, bangsa mana yang bisa mengonversi rakyat yang dari total  buta huruf menjadi semua melek huruf dalam waktu kurang dari 60 tahun.

Coba lihat global competitiveness index. Pay and productivity kita di atas Denmark dan Jerman. Kemudianinnovation, value chain kita di atas negara Eropa barat. Untuk hal-hal yang itu, kita bagus.

Kalau kita lihat, kita punya aspek-aspek yang sebenarnya bisa membuat kita cepat maju, Jadi apa yang membuat kita mundur? Persoalannya adalah integritas! Integritas menjadi rem bagi kemajuan kita.

Soal kriminal yang terorganisasi, kita sama dengan negara-negara Afrika. Reliability of police service kita sama dengan Ghana. Reliability of upholding contract kita sama dengan Mali. Untuk business ethic kita di bawah Zambia.

Di sini, saya melihat leadership itu menjadi penting menyangkut integritas. Dahulu ketika republik ini berdiri, semua pemimpinnya orang-orang punya integritas.

Kenapa kok bisa pemimpinnya semua punya integritas begitu?

Karena [ketika itu], syarat menjadi pemimpin adalah mereka mau meninggalkan kenyamanan dan siap berjuang dengan orang-orang yang tidak terdidik.

Bung Karno, Bung Hatta, dan Sjahrir kalau mau hidup nyaman dan sejahtera bersama keluarganya, seluruh persyaratannya mereka sudah punya. Tetapi mereka memilih untuk tidak begitu. Mereka memilih berjuang bersama rakyatnya.

Jadi, efeknya, yang menjadi pemimpin perjuangan ketika itu adalah orang yang tidak terpesona dengan kekuatan materi. Kalau mereka milih materi, tentulah mereka ikut bersama kekuatan kolonial Belanda. Ketika republik ini berdiri, bukan tidak ada persoalan korupsi. Gubernur Jenderal Belanda itu dipecat karena korupsi.

Hari ini, kita belum seperti itu. Justru ketika melihat ke puncak, kita melihat masalah besar sekali. Ini menjadi beban bangsa. Kalau saya bicara pemimpin, bukan berarti kita hanya Pak SBY. Semua pemimpin di negeri ini, termasuk di daerah.

Integritas itu yang harus dikembalikan.  Bangsa ini betul-betul defisit integritas. Ada sistem koruptif yang harus dibongkar. Mafia kan ada di mana-mana.

Tapi ingat, soal mafia, bukan cuma kita saja yang mengalami. Hong Kong, dulu, kurang apa soal mafia. Kolombia dengan narkobanya. Ternyata mereka bisa lepas dari soal itu sekarang.

Leadernya [di sana] itu hadir dengan sikap, [dan berkata], ”Saya akan perangi mafia itu, tanpa syarat.” Oleh karena itu, saya berharap pemimpin kita tidak memiliki beban sehingga bisa memerangi mafia secara all out.

Kepemimpinan itu satu hal. Apalagi yang harus segera diperbaiki?

Selain leaadership, hal lain yang penting adalah kenyataan bahwa kita berjalan di alam demokrasi. Demokrasi bisa berjalan dengan baik kalau diikuti dengan dua pilar yang juga berjalan beriringan yaitudevelopment dan rule of law.

Nah kita di era demokrasi. Demokrasi [Indonesia] ini dikelola tanpa ada perencanaan. (Anies memberikan beberapa contoh bagaimana demokrasi kita berjalan tanpa perencanaan].

Demokrasi itu terancam kalau tidak terkonsolidasi, [yang kemungkinan jatuh kepada], dua pihak kecil yang tidak penting, yang tidak ada pengaruhnya.

Kelompok pertama, ekstrem kanan yang menolak demokrasi karena idelologi agama. Di sisi lain ada ultranasionalis yang memandang demokrasi bukan sistem asli kita. Mereka sekarang tidak punya suara, tidak punya tempat.

Mereka hanya akan punya tempat kalau demokrasi tidak deliver. Publik nanti akan merasa buat apa demokrasi kalau tidak menghasilkan apa-apa?

Bagaimana Anda melihat fenomena korupsi di Indonesia?

Korupsi saya bagi tiga: pertama korupsi by need. Pegawai negeri sipil yang gajinya hanya cukup untuk 15 hari, pastilah dia korupsi karena memang kebutuhannya tidak tercukupi. Kita tidak perlu teori panjang tentang hal itu, sudah jelas itu.

Kedua, sistem yang memaksa tindakan korup. Sebagai contoh, pelaksanaan ujian nasional. Para guru kita kalau ditanya mau gak mereka berbuat tidak jujur, jawabannya pasti tidak. [Mereka] kalau dibilang needtidak, serakah juga tidak. Mereka dikunci dalam suatu sistem yang memaksa mereka menjadi tidak jujur. Cuma kalau mereka jujur, anak didik mereka tidak lulus.

Nah kita tidak me-review, [padahal] banyak sekali aturan yang membuat orang terjebak dalam korupsi, dari mulai penganggaran sampai pada pelaporan. Sistemnya harus dibuat agar orang menomorsatukan integritas.

Yang ketiga korupsi karena greed. Kerakusan itu musuhnya penegakan hukum. Kalau [orang korupsi karena] need itu kamu ancam, mereka tidak peduli karena memang harus dipenuhi kebutuhan itu.

Kalau ada contoh kita tegakkan hukum tanpa pandang bulu, kerakusan itu pasti akan berhitung.

Indonesia ini kombinasi yang lengkap dari ketiga bentuk korupsi itu. Korupsi itu dari lahir sampai liang kubur, seperti Anda bilang.

Anda yakin bangsa ini bisa memberantas korupsi dan memerangi mafia secara segera?

Ya, saya yakin. Korupsi itu bukan cuma kita yang mengalami. Kita bisa belajar dari China. Di sana ada keseriusan. Yah, itu tadi, para pemimpin China itu tidak memiliki beban masa lalu. Mereka tidak takut kena hukuman karena memang tidak terbebani kesalahan pada masa lalu.

Kita perlu orang waras yang punya nyali. Kita juga bisa seperti China. Memang di Indonesia ini tidak banyak orang yang punya nyali? Banyak orang yang punya nyali di sini, cuma mereka tidak punya otoritas.

Kembali kepada ketiga bentuk korupsi, semuanya sudah jelas. Salah satu yang harus dibereskan ialah menyangkut pelayan publik. Orang akan merasa nyaman tanpa korupsi.

Kita punya kelas menengah yang baru. Kelas menengah ini harus berperilaku dengan adab yang lebih baik. Saya terus terang merasa tersinggung membaca iklan AirAsia yang memajang iklan paket ke Singapura untuk menonton film Harry Potter. Itukan hasil penilaian orang iklan kepada kita. Dan, itu menunjukkan potret kita.

Ketika bicara kepemimpinan nasional, tentu kita tidak bisa lepas dari sosok Presiden. Apa yang harus segera dilakukan Presiden SBY?

Saya orang yang berkeyakinan, jangan sampai pemerintahan [SBY] ini berhenti di tengah jalan. Kalau berhenti, kerusakan politik sosial ekonominya terlalu mahal. Pandangan dunia internasional terhadap Indonesia akan luar biasa berubah. Di dalam negeri, uncertainty muncul.

Menjadi penting bagi pemerintah untuk menyelesaikan waktunya sampai akhir. Syaratnya, pemimpin berani melakukan terobosan-terobosan yang berani. Jangan merasa business is usual.

Harus ada keyakinan, ambil keputusan secara tegas dan cepat. Jangan keputusan itu di-pending, karena pesannya ke bawah [anak buah] bisa salah. Yang di bawah merasa ’Oke, yang di atas tidak ambil, keputusan, saya juga gak mau ambil keputusan...” Yang di bawahnya lagi juga mikir begitu, terus ke bawah.

Ketidaktegasan itu menular sangat cepat dan sistemik. Yang di depan [pemimpin] itu harus cepat. Ilustrasinya seperti kemacetan di jalan tol yang di ujungnya ternyata tidak ada-apa. Yang terjadi adalah, mobil yang paling depan menurunkan kecepatannya menjadi 90 km, mobil di belakangnya turun menjadi 70 km, begitu seterusnya.

Dua kilo meter, setelah itu, mobil sudah tidak bergerak. Yang paling depan itu harus paling cepat mengambil keputusan. Keterlambatan itu juga menular dengan cepat.

Selanjutnya, pemimpin harus berani mengambil sikap yang ’intervensionis’. Kenapa? Karena kita di Indonesia ini aturan mainnya belum sempurna. Kalau kita ngikutin SOP terus, yah jebol bangsa ini. Kalau memang aturan sudah sempurna, kita harus sesuai ketentuan.

Selanjutnya, bangun suasana di mana pemimpin itu hands on. Kita kan senang pemimpin hands on. [Misalnya seperti perintah SBY] “Tangkap Nazaruddin.” Begitu tegas pesannya. Dalam waktu sebulan, Nazaruddn tertangkap. Kalau ada kemauan ada jalan. Begitu perintah jelas, turun ke bawah yah tidak ada keragu-raguan lagi karena pesannya jelas. Bawahan bilang, ”Ok, I will do it.

Omong-omong soal pemerintah, Anda yakin, partai politik akan mempertahankan SBY sampai 2014?

I hope so, karena ini bukan soal pro-SBY atau kontra-SBY, tapi ini untuk membantu sustainablity dari demokrasi kita. Tetapi di sisi lain, Presiden juga harus berubah, tidak bisa begini terus.

Kita ini kan dengarnya derap-derapnya gagah, tapi kalau dilihat ternyata jalan di tempat. Bangun suasana dalam kepemimpinan itu di mana pemimpin hands on. Jadi kalau ada kemauan itu, ada jalannya. Kalau dari atas itu perintahnya jelas “tangkap” sampai ke bawah itu tidak akan ragu-ragu, karena pesannya jelas. Jangan ada kesan keraguan-raguan.

Agar tidak terlalu menyalah-nyalahkan Presiden, fungsi menteri-menteri ini menurut Anda dalam Kabinet Indonesia Bersatu II ini bagaimana?

Ada yang berpendapat kalau menteri itu sama sekali tidak usah dari partai, tapi di sisi lain presiden perlu mengemban hubungan dengan parpol. Menurut saya, perlu ada niat partai untuk kirimkan yang terbaik. Kalau ke kabinet, jadi jangan orang yang terdekat dengan pimpinan, tapi kirimkan yang terbaik yang menguasai bidangnya.

Menurut saya, mix ya, tidak bisa kita menilai satu-persatu tiap orang. Dalam benak saya, kalaupun mereka itu ditugaskan, selama perintah-perintah itu jelas, ukurannya jelas, seharusnya bisa baik.

Sebenarnya Pak SBY itu, dari sisi pribadi [tidak masalah]. Do you know SBY kalau berangkat ke kantor jam berapa? Jam 05.00 pagi sudah berangkat dia. Kalau jam segitu sudah berangkat, bisa Anda bayangkan jam berapa dia harus siap-siap. Jadi dari diri beliau sudah ada kesadaran.

Bayangkan Anda mimpin negara, berangkatnya jam 5 pagi, artinya disiplin, serius. Kalau mau bisa saja ambil gampangnya naik helikopter jam 9 pagi, tapi gak kan?

Saya melihat beliau punya kemauan baik untuk melakukan sesuatu, coba tambahkan dengan melakukan terobosan-terobosan yang sederhana saja.

Menurut saya, pemimpin di era demokrasi itu agak berbeda dengan pemimpin di era tradisional lama. Kalau di Amerika itu, pekerjaan presidennya itu telefon, persuasi dan negosiasi. Jadi diskusi, buka menunggu orang-orang untuk laporan. Communicate. Dan itu akan membuat mengelola Jakarta itu jauh lebih mudah, karena elite di Jakarta ini harus diperlakukan sejajar.

Tapi dia ini kan sudah 5 tahun, seharusnya SBY ‘khatam’ untuk urusan seperti ini?

Iya. Karena itulah kenapa saya putuskan untuk menulis, karena menurut saya sudah waktunya diingatkan. Jadi saya ini melihat modal yang dimiliki oleh Presiden ini luar biasa.

Banyak hal besar yang bisa beliau lakukan, dan Indonesia ini akan merasa diuntungkan karena kita belum pernah punya presiden era kedua dan dipilih oleh begitu banyak orang. Luar biasa. Karena itu, menurut saya ini harus diselesaikan, buat terobosan-terobosan secepatnya.

Kita tahu dalam jangka panjang, Indonesia akan mengalami surplus demografi, dividen demografi. Sekarang anak-anak muda kita banyak. Hari ini anak usia di bawah 39 kalau tidak salah 136 juta orang.

Jadi populasi kita itu sangat muda. Tapi populasi muda ini menjadi bernilai jika terdidik. Apalah artinya populasi besar kalau tidak terdidik. Karena itu kita butuh terobosan-terobosan cepat untuk bidang pendidikan, misalnya.

Kalau terobosan kita ini tidak jalan, tidak hari ini kita merasakan masalahnya, kita merasakan masalahnya besok, 10 tahun, 15 tahun yang akan datang.

Kita punya SD 144.000, SMP 36.000, langsung kita tahu gap-nya. SMA kita punya belasan ribu, dari angka-angka itu sudah menunjukkan trouble. Kan kita ingin anak-anak kita itu sekolah minimal SMP, harapannya lebih baik kalau bisa SMA. Kalau kita genjot infrastruktur pendidikan, ditambah dengan kualitasnya, tentu sudah mengantisipasi tuh ke depan.

Banyak hal-hal yang perlu kita antisipasi secara cepat. Sistem logistik misalnya, jeruk kita, jeruk Lampung itu kalah dengan jeruk China yang harganya lebih murah. Kenapa? Karena infrastruktur kita tidak bagus.

Hal-hal begini, yang memerlukan terobosan. Ibu meninggal karena melahirkan itu 30 per 10.000 kelahiran, bukan karena minimnya fasilitas kesehatan, tetapi karena tidak bisa sampai ke fasilitas kesehatan, jadi karena tidak ada kendaraan dari tempat dia tinggal ke fasilitas kesehatan.

Pewawancara: Bunga Dewi Kusuma, Algooth Putranto, Sutan Eries Adlin