home

Tuesday, December 13, 2011

Kebebasan Berpikir!

JAKARTA: Dalam bukunya yang terkenal, Man Search for Meaning, Victor Frankl, seorang psikoterapis terkenal yang pernah ditawan di kamp konsentrasi Nazi, mengisahkan perjalanan hidupnya.

Selama tiga tahun lebih ia ditawan di kamp konsentrasi dengan sangat kejam. Di situlah ia melihat perjuangan antara hidup dan mati serta bagaimana manusia dipojokkan sampai batas kemampuan bertahannya.

Banyak yang frustrasi dan nyaris gila. Tetapi, yang menarik menurut Victor Fankl, selalu ada orang-orang yang menghibur sesama tahanan yang lain, sambil membagikan roti terakhir mereka. Dan inilah yang ia tuliskan, “Orang-orang seperti itu mungkin hanya sedikit, namun itulah buktinya bahwa segala sesuatu bisa dirampas dari seseorang kecuali kebebasannya menentukan sikap dalam menghadapi keadaan apapun.”

Kisah pengalaman dan kesimpulan Victor Frankl di atas sengaja saya pilih pada Agustus ini, di mana kita masih ramai membicarakan soal perayaan Tujuhbelasan. Dan saya yakin, di balik kemeriahan dan liburan kita karena perayaan 17 Agustus, mari kita tidak melupakan esensinya yang penting yakni soal merayakan kebebasan kita.

Sayangnya, meskipun secara fisik kita telah merdeka, tetapi cara berpikir dan cara kita bersikap kadang masih terjajah. Pada kesempatan ini, sengaja saya ingin membahas mengenai beberapa fenomena yang menunjukkan betapa kita seringkali hanya bebas secara badaniah, tetapi secara pikiran kita masih terpenjara! yaitu Limiting beliefs

Fenomena pertama adalah masih banyaknya limiting belief pada kebanyakan orang yang kita jumpai. Apa sih limiting beliefs? Pada dasarnya limiting beliefs adalah keyakinan-keyakinan salah dan tidak mendasar, tetapi kita mempercayainya seolah-olah keyakinan itu adalah fakta sesungguhnya. Misalkan saja di suatu organisasi joint venture yang pernah saya datangi, ada suatu keyakinan bahwa “para ekspat pasti punya kualitas dan kemampuan lebih baik daripada orang Indonesia”.

Itulah keyakinan si owner yang kemudian menjadi keyakinan para pimpinan di organisasi itu pula. Akibatnya, banyak ekspat yang dipekerjakan di situ dan sangat direspek, bahkan cenderung sangat-sangat berlebihan.

Padahal, jelas-jelas ada pula ekspat yang kemampuannya terbatas. Dan kasihannya, kebanyakan orang Indonesia yang ada di perusahaan itupun, termasuk manajernya, kerjanya mirip seperti ‘babu’ saja. Jadi, meskipun orang Indonesia-nya punya ide ataupun saran yang sangat bagus, biasanya tidak terlalu didengar dibandingkan para ekspat-ekspat berwajah asing yang ada di perusahan tersebut. Usut punya usut, ternyata perusahaan pernah punya pengalaman trauma dengan kemampuan beberapa manajer Indonesia yang sangat payah.

Akhirnya, muncullah sebuah limiting beliefs ini. Padahal jika kita bicara soal prinsip kesamaan (egalitarian), maka kita percaya bahwa kemampuan seseorang tiadaklah ditentukan berdasarkan warna kulit maupun ras-nya.

Tetapi, pengalaman masa lalu ternyata sudah menanamkan semacam limiting beliefs di perusahaan tersebut. Sayangnya, itulah yang kemudian diyakini. Dan pengalaman semacam itupun banyak terjadi di level pribadi kita.

Misalkan saja kita mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan berulang-ulang. Akibatnya, kitapun menjadi trauma dan menjadikan itu sebagai keyakinan kita. Contoh limiting beliefs itu misalnya, “Wanita tidak akan bisa sukses di pekerjaan ini!” (karena mayoritas yang bekerja adalah wanita), “Usia saya terlalu tua untuk sukses”, “Pendidikan saya terlalu minim untuk berhasil di bisnis ini”, “Orang yang sukses pasti susah untuk didekati dan pelit berbagi ilmu”, dan masih banyak lagi yang perlu diuji.

Ingatlah, berbagai limiting beliefs ini tidak saja membatasi potensi kita, tetapi juga membuat kita terus-menerus hidup dalam realita berdasarkan apa yang kita yakini. Selama kita tidak berani mendobrak dan menantang limiting beliefs yang kita miliki tersebut, maka selamanya kita akan terus menerus terpenjara oleh batasan pikiran ini.

Fenomena kedua yang bisa menunjukkan keterpenjaraan pikiran kita adalah ketidakberanian mengambil risiko (risk taking behavior). Belakangan ini, cukup banyak perusahaan di Indonesia yang mentrainingkan karyawannya untuk mengikuti kelas soal inovasi dan kreativitas.

Tatkala ditanya alasannya, kebanyakan menyebutkan, “Karyawan kami sangat pasif dan tidak berani mencoba hal-hal baru”. Namun, ketika diselidiki lebih jauh, akar persoalannya bukanlah melulu karena karyawannya tidak kreatif tetapi kultur kreativitas dan mengambil risiko sangat dibatasi. Bahkan, ada kalimat si pemimpinnya yang terkesan sangat kontradiktif, “Kalian cobalah lebih kreatif dan beranilah ambil risiko. Tapi, kalau kalian mau mengambil risiko, lapor dulu dong!”

Fenomena ini diperburuk lagi dengan gaya pendidikan di negara kita yang cenderung sangat membatasi kreativitas. Hal kecil, mulai dari menggambar pemandangan di sekolah, warna serta cara menggambarpun dibatasi. Termasuk pula, guru-guru sangat senang dengan pilihan jawaban yang terbatas.

Akibatnya, tanpa sadar, keterbatasan pilihan, bukannya kebebasan pikiran, yang justru ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil. Jawaban-jawaban di sekolah pun harus sesuai dengan apa yang ada di pikiran sang guru.

Sebagai contoh menarik. Ada seorang anak disalahi tatkala ia dalam soal, “Anjing makan….”, dalam jawabannya, ia menuliskan kata “nasi”. Rupa-rupanya, anak itu pernah menyaksikan anjing tetangganya yang diberi makan nasi dan anjing itupun makan dengan lahapnya. Akibatnya, ketika ditanya, maka anak itupun menjawab “nasi”. Ketika si anak protes kepada gurunya, si guru dengan ketus berkata, “Harusnya binatang anjing ya makan tulang. Itu jawaban yang seharusnya!”.

Nah, dengan latar belakang pendidikan yang demikian tidaklah mengherankan jika akhirnya kita mendapatkan banyak manusia d Indonesia yang tidak mampu berpikir ‘out of box”, tidak kreatif dan juga tidak berani mengambil riisiko. Fenomena ketiga adalah fenomena kebebasan untuk menunjukkan ketidaksetujuan ataupun kritik.

Saya teringat ketika dalam suatu kursus yang diikuti para remaja yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan bangsa tiba-tiba ada salah satu pesertanya mengangkat tangan dan berkata, “Saya tidak setuju dengan kesimpulan Anda, dan saya punya pendapat yang berbeda…”.

Dalam hati, saya berkata, “Kebanyakan anak muda di negara kita mungkin tidak akan punya nyali semacam ini untuk berani bicara demikian”. Masalahnya bukan itu saja. Budaya antikritik ini bahkan begitu menerobos ke dalam pikiran kita bahkan sebelum kita mengutarakan sesuatupun, kita pun telah menyensornya, “Jangan-jangan kalau saya bicara, akibatnya akan menjadi seperti ini…”.

Dan lebih buruk pun, di negara kita saat ini, mengkritik masih dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan menjatuhkan. Kondisi inipun diperparah ketika orang menunjukkan ketidaksenangan dan kritikannya bukannya ditanggapi dengan argumentasi yang sehat tetapi justru oang tersebut dilaporkan ke polisi, dan diberikan ancaman maupun hukuman.(mmh)

No comments:

Post a Comment