home

Tuesday, November 15, 2011


Memetik Manfaat APEC
Selasa, 15 November 2011 | 9:04
Presiden AS Barack Obama dan istri Michelle Obama menyambut Presiden RRT Hu Jintao dan istrinya Liu Yongqing menjelang acara makan malam dalam forum pertemuan KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Hawaii, AS, Sabtu (12/11) atau Minggu (13/11) WIB. Pertemuan yang mengambil tema “21 Economies for 21st Century” ini rencananya akan memperdalam integrasi ekonomi kawasan guna mengatasi hambatan perdagangan dan investasi. Foto: Investor Daily/AFP Photo/Jim WatsonPresiden AS Barack Obama dan istri Michelle Obama menyambut Presiden RRT Hu Jintao dan istrinya Liu Yongqing menjelang acara makan malam dalam forum pertemuan KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Hawaii, AS, Sabtu (12/11) atau Minggu (13/11) WIB. Pertemuan yang mengambil tema “21 Economies for 21st Century” ini rencananya akan memperdalam integrasi ekonomi kawasan guna mengatasi hambatan perdagangan dan investasi. Foto: Investor Daily/AFP Photo/Jim Watson

Konferensi Tingkat Tinggi forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu, 8- 14 November 2011, berlangsung di tengah turbulensi yang melanda zona euro. Itulah sebabnya, para kepala negara justru menyerukan 21 negara anggota APEC untuk membantu solusi mengatasi krisis Eropa. Mereka juga meminta seluruh negara untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi domestic guna mengimbangi perlambatan global.

Isu liberalisasi perdagangan yang semestinya menjadi tema utama APEC justru tenggelam. Bahkan dalam komunike dan pernyataan bersama para pemimpin APEC, yang menonjol justru upaya untuk mempercepat liberalisasi produk-produk ramah lingkungan sebagai upaya untuk menekan konsumsi bahan bakar minyak.

Mereka sepakat memangkas tarif produk-produk hijau dan berteknologi bersih, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dalam beberapa tahun ke depan bakal ada investasi belasan triliun dolar AS di kawasan Asia Pasifik untuk produk-produk yang ramah lingkungan. 

Sebagai forum kerja sama ekonomi, APEC memang tidak pernah menelurkan sesuatu yang spektakuler dalam setiap KTT. Forum ini seperti sekadar wadah bagi negara anggota untuk senantiasa memegang komitmen yang dihasilkan dari Inisiatif Bogor. Dalam deklarasi APEC di Bogor pada KTT 1994, kawasan ini sepakat menjalankan liberalisasi pada 2010 untuk kelompok negara maju dan tahun 2020 untuk kelompok negara berkembang.

Kita tentu ingat pernyataan populer mantan Presiden Soeharto tentang APEC bahwa Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus ikut dalam arus perdagangan bebas. Bila kita berkaca pada kondisi terkini, Indonesia sudah menandatangani perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) intra-Asean, Asean dengan Tiongkok, serta berikutnya Asean dengan Australia dan Selandia Baru. 

Khusus FTA dengan Tiongkok yang mulai diimplementasikan pada 2010, banyak kalangan mulai khawatir. Sebab, defisit perdagangan Indonesia dengan RRT kian melebar. Impor kita dari RRT didominasi produk-produk manufaktur yang lambat laun bakal menggilas produk serupa manufaktur kita. Sedangkan mayoritas ekspor produk Indonesia masih berbasis sumber daya alam dan bahan mentah yang kurang memberikan nilai tambah.

FTA di lingkup yang lebih kecil ini semestinya menjadi pelajaran bagi liberalisasi dalam skala lebih luas, yakni APEC. Sebagai salah satu Negara penggagas dan ikut aktif dalam forum APEC, Indonesia hendaknya bisa memetik manfaat dari liberalisasi perdagangan dan investasi ini.

Terlebih lagi poros pertumbuhan ekonomi dunia kini bergeser dari Amerika Serikat dan Eropa ke Asia Pasifik. Kawasan pertumbuhan baru ini dimotori oleh Tiongkok, India, dan Indonesia. Sumber pertumbuhan dan permintaan global juga bergeser ke emerging market yang didominasi negara-negara Asia pasifik.

Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum pertumbuhan India dan Tiongkok, termasuk pertumbuhan ekonomi negeri sendiri. Demikian pula kita harus bisa memetik manfaat dari kekuatan ekonomi 21 negara APEC. Sebab, ke-21 negara itu memiliki kontribusi terhadap perekonomian global sebesar 57% (US$ 19,2 triliun), total penduduk 3 miliar, serta nilai perdagangannya mencakup 47% total perdagangan global.

Dari sisi ekspor, APEC juga kian menjadi kawasan penting bagi Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, pangsa pasar ekspor RI ke Asean plus Tiongkok dan India meningkat dari 23% menjadi 38%, sedangkan pangsa ekspor ke Eropa dan AS turun dari 28% menjadi 19%.

Demikian pula untuk penanaman modal asing (PMA), saat ini 78% PMA di Indonesia berasal dari Asean, Tiongkok, Jepang, dan Korea dibanding tahun 2005 yang baru 36%. Sedangkan PMA asal Eropa dan AS turun dari 60% menjadi 6% pada periode yang sama. 

Namun, Indonesia harus cerdik dalam merespons liberalisasi perdagangan dan investasi ini. Artinya, sebagai negara berpenduduk besar dengan kekayaan SDA berlimpah, jumlah kelas menengah yang melonjak, serta komposisi penduduk usia produktif tinggi, kita tidak boleh hanya menjadi pasar bagi negara anggota APEC lain. Indonesia harus mengamankan pasar domestik yang selama ini menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 60-70%.

Dalam konteks itu, Indonesia harus banyak berbenah dan mengatasi kelemahan-kelemahan internal. Yang paling utama adalah mengatasi buruknya infrastruktur yang tercermin pada peringkat daya saing infrastruktur kita yang berada di urutan 82 dari 139 negara. Peringkat kemudahan berbisnis (Doing Business) dan Indeks Pembangunan Manusia (MDG) kita juga memburuk.

Tanpa pembenahan pada aspek-aspek fundamental tersebut, jangan harap kita bisa memetik manfaat liberalisasi APEC secara optimal. Jangan sampai Indonesia justru menjadi korban dan ajang pesta pora bagi negara-negara lain. 

No comments:

Post a Comment