home

Wednesday, November 2, 2011


Jalan Keyakinan Sang Maestro

Thursday, October 27th, 2011
oleh : Henni T. Soelaeman

Bom Bali pada Oktober 2002 dan 2005 membuat bisnis I Gde Wiratha terpuruk. Jiwanya pun remuk. Bagaimana ia bangkit dan menjadi maestro? Sebesar apa bisnisnya sekarang?
Malam itu, ponsel I Gde Wiratha tak berhenti berdering. Setiap dua menit, seseorang menelepon mengabarkan pesan yang sama. “Kuta dibom.” Gde terkesiap. Aliran darahnya serasa berhenti. Terperangkap dalam kegelisahan, Gde yang malam itu tengah berada di hotel bersama rekan-rekan bisnisnya dari Singapura, meminta dua satpam hotel meluncur ke Legian, Kuta. Setengah jam kemudian, adiknya menelepon. “Paddy’s dibom.” Kecemasan mulai merayapi sekujur tubuhnya, ketika dua satpam yang disuruhnya melihat ke Legian datang dengan wajah bersimbah tangis, ketakutan memaku Gde.
Sabtu 12 Oktober 2002 adalah hari yang tak akan pernah dilupakan Gde. Paddy’s Pub, tempat hiburan malam miliknya di kawasan Kuta yang menjadi tempat kongko favorit wisatawan mancanegara (wisman), menjadi kubangan mayat yang merata dengan tanah. Tak tersisa apa pun kecuali arang, besi dan kabel yang meleleh hitam. “Ada darah di mana-mana, mayat banyak sekali, saya hampir pingsan,” tutur Gde. Suaranya tercekat saat menceritakan peristiwa 9 tahun lalu itu. Ada bola kristal yang coba ditahannya untuk tidak menetes. Ruang yang didominasi warna merah dengan atmosfer Bali itu senyap. Waktu serasa berhenti. Sembari mengisap rokok, Gde menuturkan sepenggal episode kehidupan yang terpahat kuat pada memorinya.
Magnet wisman menghabiskan malam di Pulau Dewata itu tinggal puing tak bersisa. Bom yang diledakkan orang tak bertanggung jawab itu melayangkan 202 nyawa dan mencederai 209 orang. Peristiwa yang kemudian disebut sebagai Bom Bali 1 itu jelas mengguncang bisnisnya. Paddy’s Pub adalah lumbung bisnis Gde. Saban malam pub itu disambangi 1.000-an pengunjung. Dan, 95%-nya adalah wisman.
Mengenakan kemeja lengan pendek dengan sarung khas Bali berwarna biru dan menyunting bunga di ikat kepala, siang itu Gde menerima SWA dengan tebaran senyum hangat di dermaga Bounty Cruises miliknya di Benoa. Di ruang workshop studio foto yang menyatu dengan kantor Bounty, ia menuturkan perjalanan hidupnya, jatuh bangun menggulirkan bisnis, bagaimana ia bangkit dari keterpurukan akibat pemboman, kegelisahan melihat karut-marut pengelolaan negara, visinya mengembangkan dunia pariwisata, dan mimpi yang masih ingin diraihnya.
Dua tahun nyaris menghilang dari pusaran media, sejatinya Gde tak banyak berubah. Ia tetap Gde yang hangat saat bertemu orang dan penuh semangat menceritakan visinya membangun Bali. Di usianya yang 19 Januari mendatang genap 55 tahun, ia terlihat bugar. “Menjaga kesehatan dan kebugaran itu penting,” ungkap Gde yang rajin berolah raga dan perokok berat – selama berbincang-bincang dengan SWA, jarinya tak lepas dari rokok. Bisnisnya masih menggurita meski menurutnya, pasca-Bom Bali 1 (2002) dan Bom Bali 2 (2005), bisnisnya menyusut karena ia melakukan perampingan bisnis.
Saat ini, ia hanya memiliki empat hotel, lima pub termasuk diskotek, beberapa resto termasuk Ku De Ta, satu biro perjalanan dan satu cruise. “Saya sudah capek, sekarang saya senang-senang saja,” katanya sembari menebar senyum. Meski boleh dibilang bisnisnya menciut, sejatinya Gde tetap berkibar. Semua pubnya – terutama Paddy’s – tetap menjadi tempat favorit kongko wisman. Paddy’s sampai sekarang saban malam disambangi 1.000-1.300 pengunjung. Pub lain miliknya juga banjir pengunjung. Double Six dan Gado-Gado, diskotek yang dirancang terbuka dilengkapi kolam renang dan menara untuk bungy jumping sampai kini masih berkilau.
Ku De Ta, resto mewah di pinggir Pantai Seminyak – bahkan diakui Gde, paling mahal di dunia – juga menjadi favorit kalangan high socialite Jakarta. “Belum ke Bali kalau belum ke Ku De Ta,” ungkapnya. Ku De Ta dibesut Gde tahun 1994. Waktu itu selama empat tahun resto ini tidak jalan. “Baru naik daun sekitar 1997-1998 sampai sekarang, setelah kami mendatangkanchef dari luar dan mahal,” katanya sambil terkekeh.
Sementara Bounty Cruises, pionir kapal pesiar di Bali ini juga tetap merajai wisata ke Nusa Lembongan. Dalam sehari, Bounty yang berkapasitas 600 orang melakukan cruise dua kali: ke Nusa Lembongan dan santap malam. Dua paket cruise yang ditawarkan Bounty ini diminati banyak wisman. Dalam pengamatan SWA, 200-an orang menikmati cruises dinner. Sementara untuk paket ke Nusa Lembongan lebih banyak lagi. Selain menikmati makan siang dan hiburan di kapal, mereka juga bisa berekreasi dan olah raga air, seperti jetski, banana boat,snorkeling, menyelam dan lainnya. Bounty menggandeng biro travel yang umumnya memasukkan paket perjalanan wisata di Bali.
Dijelaskan Gde, awal membesut Bounty pada 1999, ia mendapat cibiran banyak orang. Pasalnya, selain investasinya besar, wisata kapal pesiar belum populer dan marak seperti sekarang. Gde membeli kapal pesiar supermewah dari Australia itu pada 1996 seharga Rp 260 miliar. “Saya beli kapal baru, bukan bekas,” katanya. Tahun 1999, Bounty baru beroperasi. Selain itu, Gde juga memiliki tiga kapal kecil yang ia sewakan seharga masing-masing Rp 7,5 miliar, Rp 8 miliar dan Rp 9 miliar. Umumnya para wisman yang menyewa kapal milik Gde untuk menikmati keindahan Bali. Sudah balik modalkah? Gde menjawab dengan tertawa.
Sementara empat hotelnya, menurut Gde, berjalan sesuai dengan yang diharapkan di tengah persaingan bisnis hotel di Bali yang makin keras. Menurut Gde, kalau diurutkan, saat ini bisnis pub memang berkontribusi paling besar. “Cash flow-nya lebih bagus,” katanya. “Kalau diperingkatkan, paling enak bisnis klub, resto, cruise, travel, hotel,” kata Gde yang mantan Ketua PHRI Bali dan Ketua Kadinda Bali.
Gde terjun ke dunia bisnis saat masih belia, 32 tahun lalu. “Sebenarnya, dari SMP saya sudah berbisnis, saat istirahat sekolah saya jualan buah, itu saya jalankan sampai SMA,” cerita Gde bersemangat. Panggung bisnis sejatinya dimasukinya secara kebetulan. Pertama kali mengenal Kuta saat berusia 17 tahun. Ketika itu sulung dari dua bersaudara ini bekerja sebagai pencuci piring di sebuah resto di Kuta. Pergaulannya dengan turis dan kaum hippiesmembuka wawasan bisnisnya.
Gde yang jebolan Arsitektur Universitas Udayana kemudian bekerja di perusahaan kontraktor yang menggarap pertamanan hotel di Sanur dan Kuta. Ia nyambi berjualan kotoran sapi yang mengharuskannya keluar masuk rumah petani mengumpulkan kotoran sapi. Kegiatan itu justru membuatnya tahu betul siapa-siapa pemilik tanah di kawasan Kuta yang kemudian menjadi modal besar baginya memulai dan mengembangkan bisnisnya di Kuta. Saat mengerjakan proyek taman Hotel Sanur Beach, mimpinya mulai ia ukir. “Suatu saat saya harus punya hotel.”
Memenangi sayembara desain Hotel Kuta Palace, membentangkan jalan kariernya. Selain dapat hadiah uang, Gde juga ditunjuk sebagai wakil pemilik untuk mengawasi pembangunan hingga pengurusan izin dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bank. Gde pun menyerap banyak pembelajaran untuk memulai bisnis. Cita-cita besar pun ia canangkan: membangun bisnis yang terkait dengan pariwisata. Sembari bekerja di Kuta Palace, ia rajin mengikuti sayembara dan menang. Ia antara lain memenangi sayembara desain Tugu Pahlawan Surabaya, patung Pahlawan Puputan Denpasar, proyek Transito NTB, Gedung Wanita Bali, hingga renovasi suite room kepresidenan Amerika Serikat saat Ronald Reagan menjabat presiden.
Hadiah uang dan hasil tabungannya selama bekerja lalu dipakainya untuk mengontrak tanah di Gang Poppies dan membangun penginapan kecil yang kini dikenal sebagai Hotel Bounty (bounty = keberuntungan). Pariwisata Bali booming tahun 1990 memuluskan jalan Gde membangun kerajaan bisnisnya. Bersama adik kandungnya, I Made Wiranatha, ia mendirikan PT Gde & Kadek Brothers. Kejelian mengendus peluang mengguritakan bisnisnya. The Breeze Hotel (Contiki),Villa Rumah Manis, Hotel Barong, Hotel Dewi Sri, Double Six Club, Paddy’s Club, Diskotek Bounty, Aj Hackett, Bali Safari Rafting, Calvin Tour and Travel, Unipara Cargo, Bounty Cruises, Stussy Garment Industry, Paparazzi Lounge, Bacio Lounge, Gili Rengit Water Sport Recreation Island Resort, Lembongan Recreation Poonton, Air Paradise International, Montessori International School, Rumah Cuci Laundry, Hotel Food Supplier, Agrobisnis Strawberry, Vanila Bean Exporter, Restoran Gado-Gado, Tepi Pantai dan Ku De Ta merupakan sebagian kerajaan bisnisnya yang kalau ditotal tidak kurang dari 38 perusahaan dengan lebih dari 7 ribu karyawan (40 orang di antaranya ekspat).
Julukan sebagai Raja Leisure Bali pun tersemat. Pasalnya, selama lebih dari tiga dasawarsa, bisnis yang digelindingkan Gde banyak bersentuhan dengan dunia leisure dan pariwisata. Dalam perjalanan bisnisnya, ia kerap menjadi pionir. Sebut saja pub. Double Six adalah klub pertama di Kuta, Bali. Ia juga yang pertama menggelindingkan bisnis taksi. Ketika itu tentu saja idenya banyak ditentang. Masyarakat Bali belum terbiasa dengan budaya taksi. Belum lagi ia harus berbenturan dengan pengusaha dan sopir angkot. Toh, akhirnya langkah Gde malah diikuti perusahaan sejenis. Sebelum akhirnya bisnis taksinya ditutup, ia sempat merajai bisnis taksi dengan 800 armada.
Langkah berani Gde tak lantas mandek. Pada 2003 ia masuk bisnis penerbangan. Lewat PT Air Paradise International dan PT Air Paradise Indonesia, ia mengantongi dua izin penerbangan. “Waktu itu semua orang bingung, Gde lu gila ya,” ujar Gde menirukan ucapan teman-teman bisnisnya. Tak tanggung-tanggung, Gde langsung mengoperasikan empat pesawat Airbus seharga masing-masing Rp 400 miliar. Semula, Paradise Air yang akan melayani rute Denpasar ke kota-kota di Australia, Jepang, Eropa, Amerika Serikat dan Afrika ini akan terbang perdana Oktober 2002. Kejadian Bom Bali 1 membuyarkan rencana tersebut.
Baru pada 16 Februari 2003, Paradise Air mengangkasa. Gde melihat setelah peristiwa 12 Oktober 2002, banyak maskapai yang mengurangi frekuensi penerbangan ke Bali. Selain mengambil peluang yang terbentang, Gde juga tergerak untuk menggeliatkan kembali pariwisata Bali dengan memboyong wisman. Paradise Air melayani rute Denpasar-Sydney, Denpasar-Brisbane, Denpasar-Adelaide, Denpasar-Melbourne, Denpasar-Perth, Denpasar-Inchoen (Korea), Denpasar-Kansai dan Denpasar-Haneda (Jepang).
Dengan pangsa pasar terbesar Australia, Paradise Air telah menerbangkan lebih dari 20 ribu penumpang Australia per bulannya. Load factor penumpang pesawat Paradise Air rata-rata mencapai 75% dari jumlah tempat duduk setiap pesawat yang mencapai 277 seat. Meski pemain baru, Paradise Air banyak diganjar penghargaan, antara lain Pacific Asia Travel Association Award kategori Excellent dari PATA Bali, dan Travel Trade Gazette. “Paradise Air, satu-satunya maskapai milik orang lokal dengan pasar mancanegara dari luar Jakarta, ya kami, semua kan ramai-ramai di Jakarta,” tuturnya.
Oktober 2005, kembali Gde terpuruk. Bali untuk kedua kalinya berdarah. Kuta kembali dibom. Bisnis di Bali kembali redup, juga bisnis Gde pastinya. Yang paling tragis ya Paradise Air. Peristiwa berdarah 1 Oktober 2005 membuat okupansi Paradise Air merosot tajam, tinggal 10%. Sekitar 12.800 penumpang mengajukan pembatalan yang otomatis pihak Paradise Air harus me-refund seluruh tiket yang sudah terjual. Keputusan pahit pun segera diambil. Pada 23 November 2005, Paradise Air ditutup.
Saya makin percaya pada kehendak Tuhan. Sepintarnya-pintarnya hitungan bisnis, kalau Tuhan sudah menghendaki lain, mau bilang apa,” ungkapnya. Pasang surut perjalanan bisnis dirasakan benar oleh suami Ida Ayu Budiani ini. Bom Bali 1 disusul Bom Bali 2 adalah pukulan terberat bagi Gde. Dampak peristiwa pemboman itu membuat Bali tertidur berbulan-bulan. Kunjungan wisman merosot tajam menyusul travel warning yang ditiupkan beberapa negara. Bali terpuruk. “Bisnis tidak jalan, hotel tidak jalan, setahun Bali terpuruk,” kata Gde. Bali digerakkan oleh pariwisata. Begitu sektor yang menggerakkan Bali ini lumpuh, tak ayal pelaku industri pariwisata bak kehilangan darah. Terlebih Gde. Kerajaan bisnis yang dibangunnya bertumpu pada pariwisata. Bersama sang adik, I Made Wiranatha, lebih dari seperempat abad, ia telah ikut memberi warna bagi ingar-bingar pariwisata Bali dengan puluhan hotel, resto dan pub di bawah bendera PT Gde & Kadek Brothers.
Berapa kerugian Gde akibat pemboman itu? Ia mengaku tak pernah menghitung berapa besar kerugiannya. “Ini bukan soal angka tapi di sini,” ujarnya sembari menunjuk ke ulu hatinya. Yang paling membuatnya terluka adalah saat tempatnya yang menjadi sasaran bom. Ledakan bom di Paddy’s melumatkan jiwanya. Untuk waktu yang cukup lama ia dihantui ketakutan. Ia tak berani bepergian. Kalau pun terpaksa pergi, harus ada yang menemani. Ia takut berada di dalam pesawat. Sering kali begitu pesawat mendarat ia langsung minta balik lagi. Di dalam mobil pribadi pun, ia berkeringat dingin begitu dijegal kemacetan. “Bahkan, tidur di kamar hotel pun, saya minta ada yang menjaga di pintu,” tuturnya. Ketakutan seolah menyergap dari berbagai penjuru. Ia sampai harus berkonsultasi dengan psikiater. “Saya depresi hebat dan trauma berkepanjangan,” katanya.
Belum lagi hari-harinya yang kemudian disibukkan dengan pemeriksaan dari polisi dan militer.Selama lebih dari 60 hari ia harus berurusan dengan polisi, militer dan wartawan. Sebagai pemilik tempat sasaran pemboman, ia harus siap siaga ketika dipanggil polisi. “Hampir setiap hari saya ngomong dengan mesin tik,” katanya mengenang. Dini hari pun ia harus siap siaga ketika polisi membutuhkan keterangannya. Begitu pun wartawan lokal, nasional ataupun mancanegara yang terus-menerus memburunya. Energinya pun terkuras untuk urusan tersebut. “Bagaimana mau memikirkan bisnis,” katanya.
Yang membuat Gde makin terluka ketika media mempertanyakan mengapa Paddy’s yang menjadi sasaran, bukankah banyak klub di Bali? Mengapa semua karyawannya hidup? Dan yang paling membuatnya miris adalah pertanyaan dari putra semata wayangnya, Putu Calvin Wiratha. “Mengapa kita harus membayar ini? Ada begitu banyak tempat, mengapa kita? Apakah Ayah berdosa?” Gde mengaku bergeming mendapat pertanyaan dari anaknya yang ketika itu berusia 10 tahun. “Anak saya melihat saya bekerja keras tapi dia tidak tahu mengapa saya dibom. Saya bisa menjawab wartawan dan polisi, tapi pertanyaan anak saya adalah pertanyaan paling sulit yang harus saya jawab,” ceritanya.
Kenyataan seluruh karyawanya selamat membuat ia yakin peristiwa tersebut adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dilakoninya karena sudah menjadi takdir Sang Hyang Widhi. “Kalau Tuhan menghendaki, semuanya bisa terjadi,” tuturnya. “Mereka seperti keluarga bagi saya. Jika salah satu dari mereka telah meninggal, itu akan menjadi seperti bagian dari diri saya yang tidak ada,” tambahnya. Perlahan Gde mulai menata hati, emosi dan semangatnya.
Perilaku sang istri membangkitkan semangatnya. Ia melihat, setiap hari usai sembahyang di pura milik mereka, sang istri tercinta selalu tersenyum. Ia juga melihat orang-orang datang ke puranya untuk sembahyang. Banyak orang bertanya kapan Paddy’s akan buka kembali menyadarkan Gde bahwa asa masih ada. Terlebih ia sangat meyakini bahwa semua yang terjadi adalah jalan Tuhan. Ia pun memutuskan membangun Paddy’s. Tidak persis di lokasi semula karena menurut kepercayaan orang Bali, begitu banyak orang mati otomatis menjadi kuburan. Paddy’s kemudian dibangun bergeser beberapa meter dari lokasi semula. “Saya bergerak pelan-pelan. Saya tidak punya uang sama sekali, bisnis tidak jalan karena setahun Bali terpuruk tapi saya punya tanggung jawab, bagaimana 7 ribu karyawan saya kalau saya tidak bangkit?”
Beruntung ia memiliki jejaring yang luas, “Saya kebetulan bisa bergaul dengan kalangan ini, kalangan itu, keluarga ini, keluarga itu,” imbuhnya. Paddy’s kembali dibuka setahun berselang. Kembali menjadi magnet bagi wisman melewatkan malam di Bali. Pasca-Bom Bali 2, ia tak mampu menerbangkan Paradise Air. “Tidak ada orang lokal yang bisa menjalankan bisnis seperti ini sampai ke mancanegara dari mulai jaya sampai bangkrut,” katanya. Pukulan telak itu membuat ia makin memahami jalan keyakinan yang dipegangnya sebagai nilai paling hakiki. “Saya tidak mau neko-neko. Nikmati hidup yang diberikan Tuhan. Semua peristiwa pasti ada hikmahnya,” tutur Gde. Terpenting, lanjutnya, ia sudah diberikan pancaindra oleh Tuhan yang harus dimanfaatkan selama ia hidup.
Dalam pandangan Gde, bisnis itu jangan dikejar. “Sudah kodrat,” katanya. Menurutnya, modal utama dalam bisnis adalah keyakinan kepada Tuhan, keyakinan pada hidup, keyakinan pada keluarga dan teman. “Selalu berpikir positif,” imbuh Gde, yang mengaku, ketika awal terjun ke bisnis ia percaya bisnisnya akan besar karena ia punya pemikiran ke depan. ”Tapi, saya tidak percaya prosesnya bisa secepat ini,” katanya.
Gde banyak dipuji karena keberanian, terobosan, dan ide bisnisnya yang bervisi jauh ke depan. Tjokorda Putra Sukawati menilai Gde sebagai seorang wirausaha yang suka tantangan. “Ia selalu melihat ke depan, setiap akan melangkah selalu penuh perhitungan, dianalisis dulu,” ujar Tjokorda yang juga berbisnis di bidang pariwisata. Di matanya, Gde seorang yang berani dan sadar akan risiko dari pergerakan bisnisnya. “Karena itu, ia selalu menganalisis keputusan bisnis yang akan diambil,” kata Tjokorda yang sudah mengenal akrab Gde ketika bersekolah di SMA yang sama.
Orangnya terbuka dan tidak memikirkan diri sendiri. Kami saling mendukung, dia tidak pernah menganggap pengusaha lain sebagai kompetitor. Kami bersama-sama mengembangkan pariwisata Bali,” papar Tjokorda yang sama-sama aktif di Kadinda Bali.
Meski ada juga yang menilai ide bisnisnya sebagai misi mustahil (mision impossible), Gde bergeming. Pariwisata adalah denyut nadinya, ia sangat paham kebutuhan industri itu, dan Bali sebagai sebuah destinasi dunia terus bergerak mengikuti kebutuhan pasar. Dari mulai klub, diskotek, pengadaan taksi, kapal pesiar, sampai penerbangan, semua bertumpu pada poros pariwisata Bali. “Bali sudah menjadi salah satu ikon dunia, ya pariwisatanya harus terus digerakkan,” ucap Gde yang sempat mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali. “Saya terpanggil demi kepentingan Bali,” Gde memberikan alasan. Selama ini ia memang aktif sebagai politikus Golkar. Sejatinya, sebagai mantan Ketua PHRI dan Kadinda Bali selama dua periode, peluang untuk berkiprah di Jakarta terbuka lebar. Namun, ia tidak mau ambil kesempatan itu.
Saya punya prinsip, saya tidak akan pernah mau menjadi pebisnis yang sukses di Jakarta tetapi dia tidak punya arti di daerahnya sendiri,” katanya tandas. Bagi Gde, ia lebih baik menjadi pengusaha di daerahnya sendiri, kendati kecil, tetap memberikan manfaat bagi Pulau Bali. “Saya punya keyakinan, dengan kemampuan saya berbisnis di daerah, saya bisa lebih bermanfaat. Saya ini lahir dan akan mati di Bali, saya ingin berbuat untuk Bali,” tuturnya. Maka, dalam setiap bisnisnya, ia selalu mengangkat kultur dan budaya Bali untuk memberikan napas bagi segala upayanya memajukan pariwisata Bali. Menurut Gde, Bali bisa dijadikan pusat pariwisata Asia karena pariwisata Bali didasarkan pada adat istiadat dan kebudayaan. ”Mari kita miliki sama-sama.” Prinsip ini menurut Gde akan membuat semakin banyak orang yang merasakan dampak ekonomi.
Dalam pandangannya, masih banyak peluang yang bisa digarap. “Ada harapan yang jauh lebih besar ke depan,” katanya. Untuk mengembangkan peluang tersebut, ia pun mulai melibatkan Calvin, putranya yang kini berusia 19 tahun. “Hotel dan Paddy’s sudah dipegang dia,” imbuh Gde. Bahkan sejatinya sejak Calvin kelas dua SMA, ia sudah dilibatkan dalam bisnis. Ia sering diajak meeting bersama mitra bisnis untuk membuka wawasan dan pergaulannya. “Alah bisa karena biasa,” ucapnya. Saat ini, diakui Gde, 80% bisnisnya sudah dipegang Calvin. “Untuk hotel belum sepenuhnya memang, tapi klub sudah ia pegang,” tuturnya. Kelvin yang jagonge-DJ, menurutnya, tengah belajar di tingkat manajemen.
Gde sendiri sekarang tengah asyik menikmati bisnis fotografi. “Ini sebenarnya hobi tapi kok malah menghasilkan duit ya,” katanya. Ia dan Calvin memang penggemar fotografi. Kamera-kamera yang dimiliki kalau ditotal mencapai Rp 1 miliar. “Bisnis ini benar-benar berangkat dari hobi tapi ternyata berkembang bagus,” ungkapnya. Pengembangan bisnis yang diberi label Mata Dewa Photography ini sepenuhnya di bawah kendali anaknya. Mata Dewa melayani jasaworkshop, studio, dan sewa peralatan fotografi. “Peminatnya kebanyakan bule,” ucapnya.
Gde telah mendapatkan semuanya. Kesuksesan, relasi internasional, dan perjalanan ke berbagai belahan dunia telah menjadi bagian kesehariannya. Toh, akar budaya Balinya masih tetap kuat. Gde tak segan meninggalkan semua atributnya sebagai pengusaha sukses jika berhubungan dengan masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Bapak orang yang baik, karyawan di sini sudah seperti keluarga besar,” kata karyawan di Bounty Cruises yang tak mau disebut namanya. Telah 10 tahun terakhir ini, setiap 6 bulan Bounty rutin mengantar 700 umat yang hendak bersembahyang ke Pura Dalem Ped yang berlokasi di Pulau Nusa Penida selama 6 hari berturut-turut dengan biaya sekadarnya. Bahkan, tak jarang, bagi umat yang tidak mampu bayar pun dipersilakan turut. “Ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, saya seperti ini juga atas kehendak Tuhan,” ucap Gde.
Henni T. Soelaeman dan Silawati

No comments:

Post a Comment